Powered by Blogger.

Pelukis Kata Bernama Frans Nadjira

>> Thursday, September 04, 2014

Oleh: Ivan Kavalera 

Sejak pertama kali membaca karyanya di radio, diam-diam saya menjulukinya pelukis kata. Dia memang seorang pelukis sekaligus penyair dan cerpenis. Frans Nadjira namanya. Dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, 3 September 1942. Konon di masa kecil, Frans mengambil kartu pos bergambar Rembrant dan Vincent van Gogh dari kotak surat seorang Belanda, ia juga menemukan reproduksi lukisan Wassily Kandinsky di tong sampah. Karya-karya maestro dunia itu, secara tanpa sadar telah membawa Frans mencintai seni lukis dan mendorongnya bersekolah di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) Makassar selama setahun. Kemudian ia merantau ke Kalimantan Utara, Filipina sebagai buruh dan pelaut, serta mendalami seni lukis dan sastra. Pada tahun 1974 ia pindah ke Denpasar, Bali sebagai pelukis dan memilih metoda seni lukis otomatis (psikografi) yang ditekuni hingga sekarang sekaligus melakukan berbagai kegiatan pengembangan sastra di Bali.

Karya-karyanya beterbangan ke banyak media seperti Horison, Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Bali Post, AIA News (Australia), Muriara, CAK dan lain-lain. Juga dalam antologi Terminal Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, The Spirit That Moves Us (USA), Tonggak, On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, Springs of Fire Springs of Tears, Horison Sastra Indonesia, Jendela Jadikan Sajak dan beberapa buku apresiasi sastra Indonesia.

“Lukisan lahir dari kekuatan kosmik lewat tangan pelukis”, kata Frans di suatu hari. Sebagaimana cabang seni yang lain maka puisi, prosa dan sebagainya adalah artefak-artefak yang menandai sebuah peradaban. Karya Frans dapat disebut sebagai salah satu artefak penting yang masih akan digali oleh generasi-generasi mendatang. Cuplikan dari salah satu cerpennya berikut ini mungkin bisa lebih mempertegas tentang Frans Nadjira yang melukis kata dengan ribuan warna.

Bercakap-cakap Di Bawah Guguran Daun-daun

Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari.

Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari memandang ke bintang -bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal-soal kesenian. Atau tentang adanya kenyataan yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Lihat, angin melucuti dedaunan dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.

Kehidupan yang polos. Seperti yang pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan. (nukilan dari salah satu cerpen Frans Nadjira)

Sumber: Klik di Sini

0 comments:

Post a Comment