Powered by Blogger.

Estetika Kekerasan dalam Pandora*

>> Thursday, September 04, 2014

Oleh: Melani Budianta**

Penyair Oka Rusmini memperlakukan tubuh bagai menu santapan. Puisi yang menohok kemunafikan.

Pandora, dalam versi yang umum diketahui, adalah perempuan yang diciptakan para dewa dan dikirim ke bumi dengan kecantikan, kepandaian, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Kepadanya diberikan pula sebuah peti yang tak boleh dibuka, dan pada akhirnya?tak bisa tidak?dibukanya. Maka segala bencana, penyakit, dan malapetaka menyebar dari peti. Pakar feminis menemukan asal muasal Pandora dalam mitologi klasik sebagai dewi pemberi hadiah, yang entah bagaimana diubah sosoknya menjadi perempuan pembawa segala kesialan.

Apa jadinya jika peti Pandora bukan berisi hama dan bibit penyakit, melainkan kemampuan perempuan penyair?seperti Oka Rusmini?untuk menulis dan mengungkapkan rahasia hidup? Peti yang satu ini lebih berbahaya. Jika nekat dibuka, berbagai aspek kehidupan yang tak ingin kita lihat dari lubuk hati terdalam berloncatan, dan dengan garang menyergap serta mencabik-cabik diri kita.

Keberhasilan sebuah puisi?menurut Acem Zamzam Noor?diukur dari sejauh mana puisi itu ?membuat bulu kuduk berdiri?. Pandora karya Oka Rusmini yang diterbitkan bulan lalu dapat dipastikan mencapai hal ini. Seperti diuraikan di catatan penutup, penyair Bali ini ?menyajikan tubuh sebagai menu santapan?. Dalam sajak Kepompong, aku lirik ?mulai pandai menanak hati, juga jantung, dengan sop darah yang kuisap dari permainan ini?. Dua ranah imaji yang bertolak belakang disatukan, yakni imaji santapan dan imaji-imaji dengan konotasi yang menghilangkan selera makan, seperti nanah, daging berbelatung, dan lemak amis.

Relasi laki-laki-perempuan, ibu, ayah dan anak dibingkai imaji kekerasan: ?perempuan yang rajin sekali menerkam tubuhku dengan mulutnya?, laki-laki ?menusukkan beratus pensil warna-warni ke jantungku?, janin yang ?mencungkili daging tubuh?, dan alam yang menjadi saksi keliaran metafora tubuh.

Jadi, kalau Oka mengumumkan akan memasuki fase sajak yang bersifat ?prosaik? dalam kata pengantar, jangan mengharap akan dipandu oleh narasi linear. Penalaran logis tak cukup menyiapkan kita pada hamburan yang meletup dari peti Pandora. Kita tidak bisa menahan kata demi kata itu satu per satu. Tak ada jalan lain kecuali membiarkannya berhamburan, dan kita pun mendengarnya tanpa harus berpegang pada makna, membiarkan diri larut dalam gejala ?paranoia? atau ?skizofrenia?. Perlahan, berulang-ulang estetika kekerasan itu membentuk polanya sendiri?walau mungkin berbeda dengan simbolisme personal yang dimaknai oleh Oka, yang menyimpan kunci petinya.

Siklus hidup berputar bukan di tataran Mahameru, tapi dalam kehidupan sehari-hari. Di ruang tunggu dokter kandungan, sajak-sajak Oka, seperti Gestural, Vagistin, Embrio, terasa mengasyikkan. Dan siapa pun yang berani mengakui benci tapi rindu, sayang tapi berang, hormat sekaligus jengah terhadap ?laki-laki yang pernah menanam? dirinya akan menangkap nuansa ?Lelaki yang Memadamkan Bintang di Matanya?. Bagi saya sebagai seorang ibu, sajak-sajak Pasha, Den Haag, Lelakiku dan Spora, Ketika Kau Sakit, mengungkap karut-marut gairah sekaligus gelisah seorang ibu dengan menggetarkan, tanpa terbebani mitos-mitos.

Dalam keliaran imaji yang saling menerkam dalam Pandora, di antara aroma dupa dan bunyi genta, kita mendengar lagu purba, siklus kehidupan manusia. Kelahiran, periode dewasa, dan kematian dilantunkan dengan nuansa berbeda-beda, dari yang bergelegak sampai yang mengalun lirih. Sementara Pandora dibuka dengan letupan: ?Sebuah pintu kubuka dengan darah?, sajak-sajak penutup mengendurkan napas. Sajak Fatamorgana 1 diawali dengan diksi kental kekerasan, tapi ditutup nyaris lembut: ?Kalau kutemukan lelaki yang pandai menyisir akar-akar otakku/aku akan membawa makhluk itu pulang. Biar ia menjaga sisa/usiaku.?

Melalui estetika kekerasan, Pandora menyentakkan kita dari kemapanan, menyadarkan kita akan yang kita sembunyikan di bawah basa-basi, dan menohok kemunafikan. Pada saat yang sama, kita dihadapkan pada kosmologi yang menerima kekerasan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Gaya semacam ini mengandung kekuatan sekaligus risiko. Jika metafora ?perempuan yang mencangkuli tubuhnya sendiri? dan serentetan kiasan serupa terus-menerus diulang, kejutannya akan melemah.

*) Tulisan ini pernah dimuat di Tempo
**) Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

0 comments:

Post a Comment