Powered by Blogger.

Made Taro: Anak-anak Bengong, Mereka Kehilangan Dunianya

>> Tuesday, September 09, 2014

Made Taro adalah sosok guru yang tidak biasa. Selain sebagai penyair, ia sangat mencintai pekerjaan yang selaras dengan hobinya bercerita, menginventarisasi dolanan anak-anak dan menciptakan lagu anak-anak. Peraih penghargaan guru teladan tingkat propinsi Bali ini bukan sekadar menjalankan hobi dalam bercerita atau berbuat sesuatu untuk anak-anak, namun ia mampu menunjukkan prestasi dalam bidang itu. Maka tidak heran jika ia mampu meraih penghargaan Adhikarya dari IKAPI Jakarta sebagai penulis cerita "Bawang dan Kesuna" yang diterbitkan Balai Pustaka. Ia juga menerbitkan buku tentang dolanan anak-anak, sebuah dunia yang kian termarginalisasi di tengah pusaran industri modern. Wawancara Bali Post bersama Made Taro ini juga disiarkan pada acara Profil Global di Radio Global FM, Sabtu (15/3) kemarin. Berikut petikan wawancaranya.

Menjadi penulis cerita anak bukanlah pilihan populer, tetapi Anda melakoninya, mengapa?
Saat ini kita menghadapi globalisasi yang amat pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa kita selalu terdesak karenanya, sehingga banyak masuk cerita-cerita dari Barat dan cerita asing lainnya yang mungkin saja belum cocok dengan sikon dan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk menghadapi tantangan itu kita jangan sampai terlambat, harus mampu bersaing melawan cerita-cerita itu. Bukan berarti kita anti pada cerita asing tetapi kita tidak ingin anak-anak itu dicekoki dengan pola pikir asing, ia sebelumnya harus punya pandangan sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karenanya kita harus gencar menghadapi arus globalisasi itu dengan menulis cerita sebanyak-banyaknya dengan menggali dari bumi Indonesia.

Dari mana inspirasi untuk menulis cerita anak?
Ini inspirasi yang sifatnya hanya kebetulan. Pada suatu ketika saya melihat anak-anak di mess guru-guru SMA II hanya bengong, tidak berbuat sesuatu. Saya menafsirkan, anak itu telah kehilangan dunia anak-anaknya. Saya bandingkan dengan saya sendiri, pada masa anak-anak tidak pernah bengong. Selalu agresif, dinamis, ada saja yang saya kerjakan, misalnya bermain, bercerita atau berolah raga, pergi ke pantai atau gunung. Kembali ke anak-anak yang bengong itu, saya tafsirkan mereka kehilangan dunianya, misalnya dunia bercerita dan bermain serta menyanyikan lagu anak-anak. Dari sana saya mulai tertarik dengan dunia itu sejak tahun 1969. Sejak itu saya membuat sanggar cerita dengan mengumpulkan anak-anak penghuni mess. Dua kali seminggu saya bercerita di depan anak-anak. Otomatis saya mencintai cerita dan saya mulai menggalinya.

Apa saja kumpulan cerita yang Anda dokumentasikan?Sudah banyak yang saya bukukan, khususnya cerita dari Bali. Ada tiga jenis cerita yang saya bukukan yaitu yang berkaitan dengan mite atau mitos, yang berkaitan dengan legenda dan dongeng. Buku saya yang terakhir berjudul "Dongeng-dongeng Pekak Mangku". Itu diilhami oleh ayah saya sendiri yang suka bercerita di depan anak-anak dan cucunya. Cerita yang menarik bagi saya adalah "Pan Cubling". Cerita ini pernah saya tampilkan di TVRI Denpasar dalam bentuk operet. Ini kegiatan yang perlu kita tradisikan.

Media massa sedikit memberi ruang untuk cerita anak tradisional, bagaimana kita menyiasatinya?Media massa elektronik maupun cetak adalah produksi hasil pemikiran manusia modern dalam bentuk teknologi. Di satu pihak, teknologi modern mendatangkan keuntungan, namun di pihak lain mendatangkan kerugian. Siapa pun tidak mungkin menolak tekonolgi modern itu. Itulah sebabnya kita harus beradaptasi sepanjang teknologi itu menguntungkan kita. Bagi saya, dunia bercerita tidak akan mati walaupun ada teknologi modern. Pencerita masuklah ke teknologi modern, berceritalah di media itu. Bentuknya pun disesuaikan dengan tuntutan kini, misalnya animasi, mendalang atau bercerita sambil melukis seperti yang dilakukan Pak Raden. Bisa juga bercerita dalam bentuk teater. Kesimpulannya, teknologi modern bukan untuk dimusuhi, tetapi untuk diakrabi. Manfaatkanlah itu sesuai dengan budaya kita.

Tetapi bukankah sentuhan humanis dengan anak berkurang karena teknologi itu?Kalau kita kreatif, kita tidak perlu khawatir. Yang kita khawatirkan adalah pengaruh dari luar negeri itu besar sekali. Kita selalu kalah berpacu. Misalnya animasi Jepang atau Amerika yang masuk di sini, ini sangat mempengaruhi pola pikir dan pandangan anak. Contohnya, animasi Amerika: kucing mengejar tikus, sang tikusnya yang disayangi dalam film itu. Sedangkan dalam cerita kita, kucing lebih disayang daripada tikus. Kebanggaan berbusana juga begitu, jika berpakaian Spyderman mereka lebih bangga sedangkan berbusana Gatotkaca mereka meringis. Ini kan berarti sudah mengubah pola pikir anak. Kita sudah terlambat, mengapa anak-anak lebih dahulu diperkenalkan pada budaya asing ketimbang budaya sendiri, sehingga tidak muncul kebanggaan pada diri sendiri.

Lantas, apakah kita menyalahkan diri sendiri karena keterlambatan itu?Yang salah itu kita semua. Bukan hanya pemerintah, saya atau pun masyarakat. Terutama mereka yang meremehkan permainan tradisional dan mengagungkan teknologi modern. Juga pemerintah, mengapa programnya tidak menumbuhkan atau mengembangkan budaya sendiri.

Bagaimana peran orangtua Anda dalam penulisan cerita?Yang saya rasakan saat ini semuanya berkat benih yang ditanamkan orangtua sejak anak-anak. Sebelum tidur saya dibekali cerita, setelah datang dari sekolah, usai makan siang saya diberi tugas mencari kayu api dan rumput serta memandikan sapi. Jika itu sudah beres, barulah saya bermain. Saya suka bermain di wantilan dan jaba pura serta sawah dan tegalan. Ini yang memupuk pergaulan dengan anak-anak satu desa. Rupanya kegiatan ini yang mengilhami saya, bagaimana membangkitkan kembali cerita-cerita, nyanyian dan permainan itu.

Awal masuk dunia penulisan, apa yang Anda tulis?Saya pertama kali menulis puisi sejak duduk di SGB Gianyar. Itu pengalaman pertama kali merantau. Saya tergerak menulis karena saya diberi pelajaran di sekolah. Kebetulan, tuan rumah saya seorang sastrawan, namanya Guru Nyoman Djelantik. Beliau menulis pupuh "Dukuh Suladri". Sering saya mencuri-curi untuk membaca buku-bukunya. Beliau punya banyak sekali bacaan antara lain majalah Pujangga Baru. Saya kena pengaruh dari sana. Kemudian saya coba kirim puisi dan dimuat di Suluh Indonesia di Jakarta. Isi puisinya tentang perasaan sedih karena meninggalkan desa. Ingat pada teman dan orangtua. Sayang arsipnya tidak ada. Setelah itu saya menulis puisi dan cerpen di Bali Post yang ketika itu bernama Suara Indonesia.

Dunia penulis belum layak mendapat penghargaan, bagaimana komentar Anda?Yang mendorong saya menulis ini kan panggilan dari dalam. Jika sudah panggilan atau hobi, maka tidak memperhitungkan uang, entah bagaimana hasilnya. Lama-lama saya berpikir, apa yang kita ciptakan harus dinikmati oleh masyarakat. Itulah sebabnya saya perbanyak dalam bentuk buku. Sedangkan untuk membuat buku tentunya perlu modal, maka saya kira uang juga perlu. Pertama kali saya kumpulkan honorarium dari tayangan-tayangan televisi dan itu saya gunakan untuk menerbitkan buku sekitar 500 eksemplar.

Apa yang menyenangkan dalam menjalankan profesi sebagai penulis?Saya mendapat ketenangan jika menjalankan hobi, kesenangan saya kan bukan negatif. Saya justru bangga kalau berhadapan dengan mesin ketik dan anak-anak. Pada waktu saya menulis, ada bayangan dalam otak, tulisan saya ini alangkah baiknya jika dibaca orang lain. Jadi saya berharap buku-buku saya bukan hanya jadi pajangan perpustakaan atau hanya disimpan di bawah bantal. Bacalah! Saya senang jika buku saya dibaca. Atau saya senang jika nyanyian yang saya ciptakan dilagukan anak-anak. Jadi apa yang saya kerjakan bermanfaat.

Fluktuasi menulis tentu tidak tetap, bagaimana mempertahankannya?Itu tergantung pada sumber, jika sumbernya kaya, maka sumber itu akan menimbulkan banyak inspirasi. Inspirasi itu bisa muncul jika sumbernya ada. Saya sekarang sedang menulis permainan tradisional "Plalian" dan juga permainan rakyat atau dongeng. Sumber cerita rakyat itu banyak sekali. Di Indonesia luar biasa kayanya dengan cerita rakyat, lagu-lagu rakyat dan permainan rakyat yang tidak ada habis-habisnya. Saya sudah menggali sekitar 200 permainan rakyat beserta lagu-lagu. Saya kira jika dibandingkan dengan daerah lain, cerita rakyat di Bali tidak sebanyak daerah lainnya. Namun jika dimainkan, tidak akan habis-habisnya.

Tempat bermain mulai sempit, bagaimana mengaplikasikan permainan anak-anak?Jika yang dimaksudkan lahan adalah tempat atau sarana bermain yang mengalami penyempitan barulah di kota. Sedangkan di desa tidak masalah. Tetapi dengan policy pemerintah memperlakukan permainan tradisional itu masuk dalam kurikulum muatan lokal, maka permainan itu sudah masuk kurikulum 1994, realisasinya tahun 1996. Soal lokasi, mereka bisa pilih halaman sekolah bukan saja pada jam khusus untuk permainan tradisional, namun juga pada jam istirahat.

Ada 17 permainan yang diterapkan di Sekolah Dasar. Semua permainan itu dimulai dengan permainan yang sedikit gerak, dimainkan oleh sedikit orang sampai dengan permainan yang dinamis banyak gerak dan memerlukan halaman yang cukup luas. Permainan aslinya, anak-anak melakukannya dengan spontan dan tanpa nyanyian. Agar menarik bagi anak-anak, maka saya selalu merangkaikannya dengan nyanyian. Misalnya sut, dulu orang menunjukkan jari saja. Tetapi sekarang ditambah dengan nyanyian seperti "hompilah hom pimpah, bolak-balik jaja gipang, anak cenik bakat kamplang". Itu kan menarik. Kedua, metode yang kita pakai adalah jenis permainan itu munculnya dari anak-anak. Jadi guru menjelaskan dulu jenis permainan, lalu permainan mana yang akan dimainkan, itu terserah pada pilihan anak-anak. Jadi pertama pakai proses seperti mengajarkan olah raga, yaitu pemanasan atau gerakan seperlunya kalau perlu diiringi dengan nyanyian. Lalu bermain dan kita adakan evaluasi. Kita tanya pada anak-anak, bagaimana rasanya memainkan permainan itu? Jadi ada kesan dari anak-anak. Bagaimana kesulitannya, mereka bisa ceritakan pengalaman ini. Sedangkan metode yang terakhir adalah metode penenangan, yaitu membawa anak-anak dalam gerak yang minim. Misalnya anak-anak main plong. Mereka berkonsentrasi dalam main plong, bahasa isyarat, spion-spionan dan sebagainya. Lalu yang terakhir ditutup dengan cerita, baik dari anak-anak maupun pengasuhnya.

Pewawancara: Asti Musman Sumber: Bali Post


0 comments:

Post a Comment