Powered by Blogger.

Di Taman Kota

>> Tuesday, September 09, 2014

Ketut Syahruwardi Abbas


Seorang bayi menetek sambil pejamkan mata.
Tak dilihatnya seekor kumbang terbang di antara daun.

Seorang lelaki memainkan rambut gadisnya.
Tak dilihatnya kembang mekar di atas rerumputan.


Zaman berdegup di taman kota. Bocah-bocah berlari
Mengejar bola. Lalu lalang cemas dan suka bertumpuk
di sudut-sudut, terbungkus tas plastik atau daun busuk.

Ada juga angin yang berputar mengintai seringai mirip
senyum gadis-gadis muda dengan ketiak basah. ”Aku
baru saja selesai mengupas selangkangan. Gatal dan
perih. Mungkin salah memilih pembalut.” Angin diam.

Zaman berdegup di taman kota. Lelaki tua berjalan pelan
Hindungnya merah. Pada tikungan ketiga ia rebah.
Orang-orang memandangnya dengan iba. Sebentar kemudian
sirine ambulance mengaum. ”Kamu hanya diam. Ada semut
di kupingnya. Ambil oksigen dan jaga agar tak mati sebelum
tiba di rumah sakit.” Lalu suara-suara bagai kawanan lebah.

”Pak, apa Bapak ini punya kertas?”
”Tidak. Saya hanya peramal. Saya tak butuh kertas.”
Kalau berani, tulis gerak angin. Ia mewartakan masa depan
bagai sungai :hanya akan berhenti kalau musim jadi kering.
”Tidak, Pak. Jangan bicara. Saya hanya ingin menulis sajak
tentang selangkangan yang sakit, tentang istri yang cantik,
dan lelaki tua yang semalam tidur dengannya. Lihatlah dia.
Alisnya menari bagai ulat bulu kala lelaki memandangnya.
Saya ingin menulis sajak, sebab saya akan membunuhnya.”

Aku berdiri memandang daun dan kumbang dan lampu jalan.
Hari mulai petang. ”Ada yang mati malam ini,” kata peramal.


06 Sep 2009

0 comments:

Post a Comment