Powered by Blogger.

Tentang Ibu Kunti

>> Wednesday, August 19, 2009

Oleh: IAO Suwati Sidemen


apa yang dibayangkan
oleh ibu kunti
ketika harus menjadi ibu
sekaligus ayah
tanpa lelaki kedua


apa yang dipikirkan
oleh ibu kunti
ketika mengantarkan lima anak
menjadi lelaki dewasa
dan membutuhkan sebuah nama
sebagai panutan perang


apa yang membuatnya tegar
sementara kelima buah hatinya
terlempar dari meja judi
sebab sebutir dadu

Read More..

Pasola

IAO Suwati Sidemen


dari batas lembah
debu mengirimkan tubuhnya
pada langit

lahirlah para Tau Humba
yang paham akan lukisan marapu

apa
yang tak mampu dilunasi
oleh ringkik kuda
dan warna tongkat lelaki

Read More..

Tanah Tua

>> Saturday, August 15, 2009

Wayan Sunarta


di tanah tua aku tiba
membawa bunga ilahi
dari jiwa yang senja

ayunan cahaya melampaui remang
bayang gerhana matamu-mataku
kilau kelabu dari luka masa lalu

di tanah tua
kita saling menduga
hidup yang fana

Read More..

Kematian-kematian (I)

Cok Sawitri


Mati pun susah atau bisa jadi menyusahkan, karena itu jagalah hidup, menujulah mati yang wajar. Dalam tradisi bali diajarkan agar berusaha sedemikian rupa menghindari kematian yang tidak wajar, yang pertama janganlah melakukan 'ulah pati', sengaja membunuh hidup diri sendiri. Tidak akan dipertimbangkan sebab kesengajaanya itu; entah disebabkan karena patah hati, karena bangkrut, kalah pemilu ataukah ideologi plus keyakinan, jika seseorang melakukan ulah pati, maka proses terjadinya kematian itu yang akan dijadikan kadar ukuran keluarnya sangsi sosial dan adat; Yakni, tidaklah bisa segera jenasah yang mati itu seketika disucikan atau diaben.

Read More..

Wageningen

>> Thursday, August 13, 2009

Oleh: IAO Suwati Sidemen


sepasang capung mengenakan sayap sepuhan
membakar peta
bagi kera bermata biru

merajut dua jembatan akar
lewati sungai nanah
yang amisnya memerihkan pori iga

dari bintik noktah itu nanti
lahir empat mata air

dan terakhir harumnya
seperti kemenangan ajal

apa yang kau bayangkan tentang kematian tiba-tiba?

Read More..

Mari Memperbaiki Surga

IAO Suwati Sidemen


mari perbaiki surga, Nis!
kalau tidak
neraka nanti akan jadi lebih nikmat

ada seratus algojo neraka
dengan sukarela akan menjamu serdadu surgamu
atau sekadar menawarkan aroma dan buih wisada
dalam cawan perak keemasan

nanti mereka terjebak
dalam permainan bidak

hitam dan putih rubuh
bukan sebab polah
tapi sebab pongah

di tanahmu sekarang
sumbu kremasi dinyalakan sebelum jasad jadi mayat
napas dibakar selagi O2 basah bau darah
tubuh terkubur sebelum ruh dijemput
kita berkabung untuk kematian yang masih suri

arca berukir tengadah kepada awan
membaca tubuhnya yang tiba-tiba berlumut

firasatkah itu? firasatkah yang terlukis setiap hari

di jaba tengah gumi
tanah bersedekah campah
ilalang tumbuh sembarang
kita terkurung belukar
dipaksa berbagi petak dengan keliaran gambut

mari kita perbaiki surgamu, Nis!
kalau tidak
neraka nanti jadi lebih nikmat


nb : wisada = racun

Read More..

Aku Ingin Bernyanyi

Bahrun Hambali


Aku ingin bernyanyi
menyuarakan kegelisah diri
menanggalkan tarian moyang yang terwarisi
untuk kembali fitri



Siapa yang memberiku wacana
siapa yang menitipiku suara
siapa yang melekatiku dengan luka
luka rupa dunia

Aku ingin bernyanyi
menebalkan rasa malu
pada dunia yang mulai sepi
pada ketakberdayaan masa depan duniaku

Aku ingin bernyanyi
menyuarakan kegelisah diri
menanggalkan tarian moyang yang terwarisi
untuk kembali fitri


(Amlapura, 13 Agustus 2009; untuk Generasi Yang Tertanggalkan Waktu!)

Read More..

Pastoral Kupukupu, Sarat Renungan Sufistik

Judul Buku : Pastoral Kupukupu
Penulis : I Made Suantha
Penerbit : Arti Foundation
Tebal : ix + 143 halaman
Cetakan Pertama : Agustus 2008

Sekitar tahun 1980-an, Bali banyak ditumbuhi penyair muda. Mereka berlomba-lomba merebut ruang sastra di Bali Post yang diasuh motivator, pencari bakat, penyair sekaligus “suhu” puisi, Umbu Landu Paranggi. Saat itu, penyair muda bermunculan hampir di setiap kabupaten di Bali. Bahkan penyair, atau anak-anak muda yang menggilai puisi, menjamur hingga ke tingkat kecamatan, desa, dan banjar. Umbu seakan tidak kenal lelah, bahkan hingga sekarang, untuk terus melakukan panggilan kreatif kepada anak-anak muda itu. Panggilan kreatif yang dibarengi kegiatan-kegiatan apresiasi itu membuat anak-anak muda semakin gayeng merebut ruang eksistensi untuk meneguhkan jati dirinya sebagai penyair.

Namun seiring irama waktu, penyair-penyair muda itu memasuki hukum rimba dan takluk pada seleksi alam. Hanya sedikit dari mereka yang masih tekun menggeluti dunia puisi hingga kini. Sebagian besar raib ditelan gelombang kehidupan yang semakin gila dengan pertarungan-pertarungan duniawi dan materialisme. Mungkin, mereka lebih memilih hidup “membumi” ketimbang merana dalam ruang “awang-awang”, kalau penyair dianggap sebagai suatu profesi yang tidak menghasilkan gaji bulanan.

Tersebutlah di sebuah desa bernama Sanur, sekitar pertengahan tahun 1980-an, muncul sekelompok penyair muda bernama Pojok Sanur. Mereka gayeng bertempur di ruang sastra Bali Post dengan kelompok-kelompok penyair lainnya. Dengan kecerdikannya sebagai motivator, Umbu membuatkan arena bagi mereka, yakni: Pos Pawai, Kompetisi, Kompro (Kompetisi Promosi), Pos Budaya, Solo Run, Duet-Duel, dengan beberapa variasi istilah lainnya. Darah muda bertemu arena dan “tukang kompor”, maka terjadilah pertarungan unjuk kehebatan dan pencapaian masing-masing dalam bekarya kreatif. Salah satu penyair dari Pojok Sanur yang tekun berpuisi adalah I Made Suantha.

I Made Suantha lahir di Sanur pada tanggal 24 Juni 1967. Di usia yang masih sangat muda, Suantha telah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membaca sajak-sajaknya dalam Forum Puisi Indonesia 1987 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat itu DKJ dan TIM masih sangat angker bagi penyair dari daerah, merupakan tempat keramat dimana seseorang bisa dibaptis menjadi penyair nasional. Dua tahun kemudian Suantha menerbitkan buku kumpulan puisi tunggalnya yang pertama, Peniup Angin (1989). Saat itu, Suantha merupakan representasi dari impian setiap penyair muda dari daerah: diakui secara nasional dan memiliki buku puisi tunggal.

Kini, Suantha kembali menerbitkan buku kumpulan puisi tunggalnya, bertajuk Pastoral Kupukupu (Agustus 2008). Buku itu diterbitkan Arti Foundation atas bantuan program Widya Pataka yang digagas Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali.

Membaca judul buku ini, kemudian menyelami dan menyimak 65 sajak yang terangkum di dalamnya, orang bisa merasakan ruapan hawa relegius dan sufistik dari seorang penyair yang tekun menjelajahi dunia kebatinan. Dalam penjelajahan itu tentu muncul berbagai kegelisahan dan benturan berkaitan dengan penemuan kesejatian diri, Sangkan Paraning Dumadi untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti. Ada pertanyaan esensial “Dari mana aku, mau ke mana aku?” untuk menjelajahi dan mencapai sebuah tahapan penyatuan “aku dan Kau”, peleburan “atma dan Atman”.

Sajak-sajak dalam buku ini terbagi menjadi empat bagian, yakni Terracota Kupukupu (6 sajak, dibuat tahun 2003-2004), Repatriasi Kupukupu (15 sajak, 2006-2007), Restorasi Kupukupu (22 sajak, 2004), dan Pastoral Kupukupu (22 sajak, 2004-2005). Masing-masing bagian dipisah dengan ilustrasi khusus perihal kupukupu dengan makna-makna tertentu.

Suantha mengatakan kumpulan puisinya ini adalah potret dari perjalanan dengan nada hati yang kacau, sebuah pertanyaan yang sumbang, sebuah jawaban yang lugu. Bagi Suantha, membaca diri sama dengan memahami kupukupu menyuling madu. Orang merasakan pahit dari perasan manisnya. “Di setiap kata, bait, kalimat, ada potongan-potongan tubuh dan jiwa saya yang termutilasi, berserakan,” kata Suantha.

Kupu-kupu merupakan simbol yang tepat untuk menggambarkan penjelajahan diri Suantha dalam dunia puisi yang lama ditekuninya. Ia menulis sajak lebih sebagai pelepasan dari penjelajahan batinnya. Kata-kata, frase, metafora, irama, bunyi, tipografi yang aneh saling berkelindan, saling melilit dan membelit, untuk berusaha menemukan jalan kesejatian puisi. Suantha seperti seekor ulat yang menjadi kepompong dan pada akhirnya menjelma kupu-kupu yang indah dengan aneka warna sayapnya.

Sajak-sajak Suantha penuh dengan kegelisahan dalam merambah pengembaraan batin. Sesekali dia menemu, lalu terpesona dan terpaku pada berkas cahaya Ilahi. Di lain waktu dia jumpalitan dalam ruang muram batinnya yang penuh raung kata-kata. “Ruang di langit tak menentu. Jangan karamkan aku dalam kegelisahan ini,” teriak Suantha dalam sajak Repatriasi Kupukupu-9 (hal.35). Sekali waktu, Suantha memang “merasa menempuh jalan yang tak menentu”.

Ya, itulah jalan puisi sejatinya. Ada saat-saat penyair memang tidak pernah merasa menemukan tujuan. Padahal sesuatu yang bernama tujuan bermukim di dalam diri penyair itu sendiri. Suantha pada akhirnya meyakini itu, seperti ditegaskan dalam bait terakhir sajak “Repatriasi Kupukupu-9”: Aku menyeberangi detak. Aku sendiri merasa mengejamu!/Aku menyeberangi denyut jantungmu, menenggelamkan diri/Sampai yatim piatu di kemah itu!

Membaca sajak-sajak Suantha, kita seperti diajak mabuk kata-kata, hingga mencapai ektase dalam kesurupan kata-kata. Dalam sajaknya, kata-kata, simbol, metafora berhamburan berebut makna dan perhatian, seperti mencari jalan dan tujuan masing-masing. Di lain waktu, kita menemukan sajak-sajak Suantha seperti pertarungan tiada habis antara sosok dan bayangannya untuk mencapai kesejatian diri.

Di dalam sajak-sajak Suantha, kita menemukan metafora-metafora bernuansa sufistik yang banyak bertebaran. Misalnya penggunaan kata “mawar”. Mawar merupakan simbol sufi. Pada beberapa sajaknya, Suantha getol menggunakan simbol mawar. Sebagai seorang perambah rohani, Suantha juga suka menggunakan simbol jukung yang banyak muncul pada sajak-sajak awalnya. Seperti pada sajak “Suluk Kupukupu Air: Sebuah Epitaph 1” (hal.7) yang salah satu baitnya berbunyi: Siapa mengusap jelaga di peluh/Menetes seperti darah rinduku/ Dalam mengenangmu!/Mengalir kampung halaman/Gairah moyang/Dan jukung didulang hasrat/Sebuah tembang hampa!

Memasuki sajak-sajak Suantha seperti memasuki hutan rimba. Banyak hal tak terduga bisa ditemukan dalam rimba itu. Atau mungkin memahami sajak-sajak Suantha seperti memahami kedalaman laut yang tak terpahami. Semakin diukur semakin dalam. (Wayan Sunarta)

Read More..

Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad

>> Saturday, August 08, 2009

Frans Nadjira


Untuk kali terakhir
kata menjengukmu    
karena kata cuma milikku:
       “Selamat jalan, batu paras
       yang ditatah dengan kapak”

Read More..

Sebuah Ziarah kepada Puisi

Oleh: Riki Dhamparan Putra


Suatu malam ujung jemarinya menciptakan nama-nama bunga. Ia bertanya kepada bunga itu: “ Apakah engkau melihat warnamu sendiri? “ Tak ada jawaban. Tapi ia tahu bunga paham. Lantaran suara angin di beranda... (Gua Braile, hal 73)

Matamerabooks, sebuah penerbit mandiri di kota Denpasar kembali menerbitkan kumpulan puisi penyair Frans Nadjira , Curriculum Vitae ( selanjutnya ditulis CV, pen) September, 2007. Setelah sebelumnya menerbitkan Springs Of Fire Springs of Tears (1998). Buku setebal 203 halaman ini terbit dwi bahasa (Indonesia dan Inggris) dalam edisi hard cover dan soft cover, berisi 55 karya puisi terbaru penyair dan pelukis Frans Nadjira, dilengkapi dengan catatan pengantar oleh D Zawawi Imron dan Arif Bagus Prasetyo.

Sebuah buku yang kehadirannya sangat pantas dirayakan, karena dapat memberi kita teladan dalam hal produktifitas dan totalitas seorang penyair. Mengingat di usia yang sudah semakin senja, Frans Nadjira masih sangat produktif menulis puisi.

Lahir di Makassar, 3 September 1942, melakoni dunia menyair dan melukis pada tahun 1960. Pada tahun ini juga Frans Nadjira merantau untuk memperkaya pengalaman. Ia pernah menjadi kuli kayu di pedalaman Kalimantan, buruh pasar dan sederet pengalaman perantauan yang tentu saja memperkaya batin dan proses berkeseniannya. Pada dasawarsa 70-an sempat bergiat di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tahun 1974 ia bermukim di Bali. Tiga tahun kemudian mendapat grant untuk mengikuti International Writing Programm dari IOWA university, Amerika Serikat.

Kiprahnya sebagai seorang motivator atikfitas sastra di Bali diakui oleh seluruh penyair dan intelektual Bali. Bersama – sama dengan rekan seangkatannya Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira tak letih – letihnya mendidik para ‘santri’ puisi. Seperti diakui oleh Sindhu Putra, seorang penyair terkeren di Bali “Om Frans adalah manusia puisi. Ia lah yang secara langsung mempengaruhi tekhnik serta memotivasi semangat para generasi penulis yang lebih muda seperti saya. Sikapnya yang tanpa basa – basi bahkan kerap membuat teman – teman yang kurang sabar merasa tersinggung. Ibarat sepasang mata, kalau Umbu adalah mata kanan, maka Om Frans adalah mata kiri...” tutur Sindhu Putra dalam sebuah kesempatan.

Darah Makassar memang melekat kuat dalam diri penyair Frans Nadjira. Itu pun berpengaruh pada gaya ungkap sajak – sajaknya. Bahkan di dalam beberapa puisi pada kumpulan CV yang ditulis di usia 63 tahun ini, masih terasa gaya ungkap Makassar yang lugas itu.

Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan puisi Frans Nadjira di buku ini sangat berbeda dengan kecenderungan pada dua buku kumpulan puisinya yang lalu. Yakni Springs Of Fire Springs Of Tears (1998) dan Jendela. Kecenderungan itu ditandai dengan nuansa solidaritas sosial yang muncul begitu kuat pada sebagian besar sajak di CV. Apalagi dalam catatan Arif Bagus Prasetyo, dicantumkan pula pernyataan – pernyataan Frans Nadjira tentang ‘kepenyairan dan kenyataan sosial’ yang menurut saya cukup mengejutkan.

Seperti misalnya pernyataan berikut ini “Kini kita tak butuh penyair kalau itu eksklusivisme. Yang kita butuhkan sekarang, orang menulis kenyataan yang dialami suatu bangsa....Atau pernyataan yang lebih pedas lagi “masih pantaskah kita bermain metafora?”(CV, hal 9)

Saya pastikan bahwa pernyataan semacam itu cukup kontroversial karena dilontarkan oleh seorang guru, sahabat, sekaligus motivator di dalam menulis puisi. Ia akan berpengaruh tidak hanya dalam penilaian para penyair kepada Frans Nadjira, tetapi juga dalam proses pencarian bahasa puisi para penyair itu sendiri. Sebab, bagaimanapun (terutama bagi teman – teman yang memulai proses kreatifnya di Bali), metafora adalah standar yang musti dicapai untuk melahirkan sebuah puisi yang utuh atau ‘jadi’. Nah, sekarang muncul gugatan ini: masih pantaskah kita bermain metafora?

Menurut Arif Bagus Prasetyo pernyataan itu disampaikan Frans Nadjira pada tahun 1997 dalam sebuah percakapan. Keperluannya untuk mengulang pernyataan itu kembali dalam esai pengantar CV yang terbit sepuluh tahun kemudian tentu berkaitan dengan usahanya memahami kepenyairan Frans Nadjira secara utuh. Di mana Arif akhirnya menyimpulkan bahwa Frans Nadjira bukanlah seorang penyair dengan tipikal puisi sunyi magis saja, tetapi sajak – sajaknya juga menunjukan kesan solider dan keberpihakan pada orang lemah. Terbitnya CV, tampaknya telah memberi Arif kesempatan untuk menyampaikan pandangannya itu.

Bila melihat situasi sosial politik di tahun 1997 yang sedang bergerak untuk melepaskan diri dari tirani orde baru, dapatlah kita mengerti mengapa penyair ini sampai mengeluarkan pernyataan tersebut. Tahun 1997 banyak terjadi peristiwa penculikan aktivis dan pembungkaman gerakan – gerakan yang menuntut perubahan oleh pemerintah. Tahun ini gerakan menentang penguasa orde baru mulai marak yang berujung pada turunnya Soeharto dari tampuk pemerintahan. Situasi seperti itu tentu telah menyentuh nurani penyair dan menginspirasinya untuk menulis puisi – puisi yang bercerita tentang kenyataan.

Salah seorangnya adalah penyair Frans Nadjira. Ia diam – diam menulis puisi sosial dan baru mempublikasikannya lama sepuluh tahun kemudian. Rupanya Frans Nadjira bukanlah seorang narsis politik yang suka menonjol – nonjolkan diri paling berperan dalam sebuah perubahan. Ia tak ingin puisi tampil sebagai kerja heroik yang pamrih hanya karena telah berbicara tentang kenyataan yang terjadi. Kumpulan puisinya yang terbit setahun setelah ia bercakap dengan Arif Bagus Prasetyo itu malah Springs Of Fire Springs Of Tears. Sebuah kumpulan puisi yang tidak berpretensi menyeret – nyeret tema sosial di dalamnya. Bagi saya sikap seperti itu adalah sikap yang tepat untuk menjaga kemurnian sebuah kerja kepenyairan.

Masih dalam catatannya di buku CV, Arif Bagus Prasetyo menyimpulkan bahwa pernyataan Frans Nadjira yang demonstratif mengenai hubungan penyair dengan kenyataan sosial tersebut, toh tidak mengurangi kesan “sunyi’’ yang biasa kita dapatkan dari sajak – sajak sebelum CV. Menurutnya Frans masih tetap berkhidmat di dalam pencarian kesunyiannya yang seakan – akan abadi. Dengan kata lain, keluar masuk dunia sosial – dunia sunyi sebenarnya adalah usaha Frans Nadjira untuk menemukan kepenuhan dirinya sebagai manusia kolektif sekaligus manusia penyair.

Mengutip Octavio Paz, Arif mengatakan hal itu karena puisi pada dasarnya adalah usaha untuk melakukan ziarah pada sejarah. Dalam konteks CV, ziarah tersebut tentu tidak hanya ziarah sosial tetapi juga ziarah kepada puisi – puisi itu sendiri.

Puisi ditulis untuk melakukan ziarah kepada puisi. Hal itu bermula dari adanya ketegangan relasional klasik antara puisi dan kenyataan hidup di sekitar penyair. Bahasa – lewat keindahan dan daya magisnya – kerap membuat jarak yang tak termaafkan antara puisi dan kenyataan. Sehingga penyair sering terisolasi atau terindividuasi oleh pencapaian bahasanya sendiri.

Itulah sebabnya, penyair - penyair besar selalu berupaya menggugah kembali bahasa puisi mereka. Melakukan ziarah atas sikap serta tindak bahasa yang telah mereka yakini sebelumnya, untuk mendapat arti yang lebih segar dari sebuah kerja puisi. Demikianlah misalnya, penyair Subagio Sastrowardoyo pun melakukan hal yang sama ketika ia menulis sajak berjudul “Sajak”.
“…Apakah arti sajak ini //Kalau anak semalam batuk-batuk, //bau vicks dan kayu putih

melekat di kelambu…// Apakah arti sajak ini?”

Relasi pernyataan Frans Nadjira sebagaimana kita kutip di bagian permulaan esai ini musti dilihat dari sisi untuk menggugah kemapanan cara pandang tentang bahasa tersebut. Sama sekali ini memang bukan sebuah siasat bahasa atau strategi penyair untuk membuat puisi yang hanya mengandalkan makna dapat diterima sederajad dengan puisi yang kaya metafor. Dan bukan pula usaha untuk menghancurkan metafora sebagai salah satu fondasi terpenting dalam sebuah bangunan puisi.

Arif Bagus Prasetyo saya kira cukup tepat telah menggunakan istilah ziarah saat membicarakan kumpulan CV ini. Sebab, kata ziarah menyimpulkan adanya suatu penghargaan kepada waktu secara keseluruhan. Baik waktu lampau dan dan waktu kini. Di dalam sebuah ziarah waktu hadir sebagai benang merah yang tidak putus. Demikianlah bila di dalam puisi – puisinya terdahulu Frans Nadjira lebih menonjolkan segi magis bahasa, magis tema dan ‘aku surealisnya’ maka pada CV hal itu telah teredam.

Sesungguhnyalah, CV menghadirkan kepada kita sikap rendah hati seorang penyair dalam menghadapi ego bahasa dan kenyataan yang tidak seimbang. Kalau boleh menggunakan pepatah, badik telah diikat sekarang... yang tertinggal adalah sebuah pengakuan di depan waktu“Unda...terimakasih telah mendidikku berendah hati. Cara berpikirmu yang polos dan sederhana// Memandang hidup sebagai sebuah lakon lengkap. Bahwa tak ada sesuatu yang terjadi//Tanpa kehendakNya// Mengantar aku ke suatu tempat// di mana kutemukan makna hidup// menepis jumawa dan mabuk ketokohan...” ( hal 3)

Inilah inti ziarah itu. Sebuah perjalanan merebut makna – dalam hal ini adalah makna puisi – dari seluruh waktu yang telah dialami penyair. Dan Unda telah menjadi piala dalam keseluruhan perjalanan itu.

Denpasar, 13 Oktober 2007

Esai ini pernah dimuat di Bali Post Minggu, november 2007


Read More..

Kita

: Varapanna

IAO Suwati Sidemen


apa yang membuat lelaki
merasakan perih luka rahim istrinya

sayatan pisau setipis kuku bayi
seketika mengering tanpa rasa sakit


seekor bangau berkaki jenjang menjinjit
meninggalkan sekeranjang karunia langit
ditumpukkan biji sawit pahit


kita telah sepaham penuh
untuk bersama menyemai peluh
mengetam garam tubuh tanpa mengeluh

karenanya
kunikmati benar
setiap serabut akar mereka
menancap dan membesar
lalu meretakkan tempurung kantung air susuku

menjadikan aku sesempurna pertiwi

Read More..

Rumah Kami

IAO Suwati Sidemen


rumah kami
dibangun dari bata bersusun
tanpa perekat tanpa penguat
tak punya pagar
cuma beluntas liar

di biliknya
aku melahirkan anak-anak kami
mereka tumbuh
dan besar
oleh umbi
dan daun


lelakiku bukan gunung
bukan pula ladang
cuma selembar tanah lumut berlapis

tak ada mata air
di dadanya
cuma setitik noktah di pelipis
tanda hidupnya belum lagi habis

di atap rumah
kami menyemai biji anggur
kemuliaan altar
dan kubur


suatu hari
kami mengundang burung
dan binatang langit
agar kemurahan sekadar menoleh

apa yang membuat burung malam
mengundang matahari menjemput umurnya

Read More..

Luka Sadap

: Silsilah buat penyair Sindhu

oleh Riki dhamparan putra


Darimana puisi?
Dari Amir Hamzah kepada Chairil Anwar
kepada Frans Nadjira kepada Warih, Fajar Arcana,
GM Sukawidana, Sindhu Putra, Sthira, Suantha, Arthawa,
Adnyana Ole dan Yoki sedikit
Mana lainnya? Lainnya adalah liga perempuan
Kecuali Okawati Sidemen dan Oka Rusmini
Rata – rata kurang semangat pada koran nasional
Dan tak begitu suka makan pecel lele Surabaya


Warih menurunkan Jengki
Jengki kemudian menggosok Vivi Lestari dan Pranita Dewi
Sedang yang muda – muda masih calon korban

Di mana Raudal? Dua tahun datang dia hijrah ke Jogja
berbekal surat Pak Umbu
Menikahi Nurwahida Idris di Loloan
Lantas pulang ke Lansano sebentar
Tak lama terdengar kabar, Raudal pulang ke akar

Aku tak tau
Apakah selama pulang itu Raudal
mengingatku kawan sekampungnya?
Selama di perantauan kami sama terasing sama lapar
sama sama tidur di satu bantal
Aku tak tau
Apakah ia masih ingat
di mana aku pernah membuang sajak – sajakku ?
Kami memang lama berteman
Tapi kemudian memutuskan untuk pergi
dari diri masing – masing

Walaupun lambat serupa keong
Aku terus berjalan
Aku berjalan untuk melupakan cermin yang dulu mengambil
ruhku di suatu malam yang tak kuingat tanggal harinya
Cermin yang belum kupecahkan
Tapi aku sudah menerima lukanya

Luka yang membawaku berjalan untuk
bertemu Umbu Landu Paranggi
Luka yang sama diderita oleh kang Acep, mas Alwi
dan para penyair serius
Luka yang terus kuhibur di dalam harapan kepada cinta
kepada sebuah rumah tangga bahagia,
pekerjaan tetap, hadiah Nobel dan rakyat yang makmur

Dari Amir Hamzah juga kiranya
Tapi melalui kehidupan aku telah pulih
sedikit demi sedikit

April 2008

nb: Luka Sadap merupakan ungkapan yang saya ambil dari sebuah sajak Sindhu Putra. Lalu saya mengembangkannya menjadi Ranji ini dan tidaklah sempurna. Karena beberapa penyair seperti IDK Raka Kusuma, Nyoman Wirata, Hartanto, Nuryana Asmaudi, Arif B Prasetyo tampaknya tidak mengambil garis langsung dari Frans Nadjira. Kebanyakan merasa dari Umbu walau sebenarnya Umbu hanya menjalankan peran sebagai redaktur budaya.

Read More..

Sastra Indonesia Terkini di Bali

>> Tuesday, August 04, 2009

Dalam Lanskap Nasional dan Global
oleh Riki dhamparan putra

Banyak pengamat mengatakan bahwa sastra Indonesia kontemporer di Bali terus mengalami kemajuan semenjak tahun 1980-an. Hal itu tak terlepas dari kerja keras para pejuang sastra yang ada di Bali, baik sebagai individu, komunitas maupun sebagai institusi formal seperti lembaga pendidikan dan lembaga bahasa. Perlu juga kita sebut di sini peran surat kabar lokal yang masih menyediakan halaman sastra.

Hingga akhir tahun 1990-an, peran komunitas sebagai motivator perkembangan sastra kontemporer di Bali masih merupakan yang terutama. Bagi sesiapa yang pernah secara langsung mengalami pergesekan kreatif di daerah ini tentu tahu kalau hampir di semua kota kabupaten di propinsi Bali ada terdapat banyak komunitas komunitas sastra yang tidak pernah lelah menghidupkan iklim kreatif di daerahnya. Mereka ini biasanya militan, hidup secara swadaya dan saling berhubungan satu sama lain melalui sebuah pola sosial alamiah yang populer disebut gradag grudug.

Gradag grudug adalah sebuah istilah yang spontan. Setengah artinya berasal dari spirit budaya komunitas lokal tradisional seperti semangat menyama braya, semangat ngumpul ngumpul, keikhlasan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan karena itu setiap kerja kebudayaan juga mengandung nilai spritual di dalamnya. Sementara setengah arti gradag grudug yang lain merupakan perwujudan dari kesadaran atas zaman nan terus berkembang yang pada gilirannya mengisi semangat lokal tradisional itu dengan nilai nilai budaya yang lebih progresif, kompetitif dan egaliter. Berdasarkan pengertian ini tahulah kita, sekalipun gradag grudug tersebut sering diucapkan secara spontan dan terimplementasi sebagai tindakan spontan, ia tidaklah datang tiba tiba tanpa rencana seperti hantu. Sebaliknya, ia adalah sebuah strategi kebudayaan. Ada visi dan cita di dalamnya

Itulah sebabnya sastrawan pinisepuh semacam Frans Nadjira, Ketut Suwidja alm, Nyoman Tusthi Edi maupun Umbu Landu Paranggi dan lainnnya selalu menekankan pentingnya untuk terus menjaga semangat gradag grudug ini dalam kesinambungan dinamika sastra kontemporer di Bali. Tak sekedar bicara, mereka juga telah memberi teladan kepada generasi penerus bagaimana menerapkan pola gradag grudug itu dalam pergaulan sastra.

Dan sebagaimana yang telah kita lihat, selama lebih dari 30 tahun melalui gradag grudug ini, kehidupan sastra di Bali tumbuh dengan pesat sebagai bagian dari pembangunan SDM yang berkualitas dan telah mampu tampil di panggung kesusastraan nasional bahkan internasional. Melalui gradag grudug ini pula sastra memberikan harapan kepada kehidupan yang lebih reflektif di tengah menggilanya kehidupan bendawi di Bali.
Namun orang kebanyakan jarang menyadarinya. Hal itu terlihat dari masih lemahnya dukungan lembaga resmi pemerintahan maupun kebijakan kebijakan institusional lainnya dalam meningkatkan kemajuan sastra kontemporer di Bali. Dengan kata lain, para pengambil kebijakan kebudayaan resmi di Bali itu masih kurang pengetahuannya terhadap pentingnya meningkatkan kemajuan sastra sebagai arsenal penting dalam pembangunan SDM di Bali. Mereka masih berpikir sastra itu hanyalah kerumunan remaja yang suka nulis puisi dan cerpen saja, tidak layak jual dan karena itu mungkin mereka tidak menganggap penting.

Jangankan kepada kantong kantong budaya informal semacam komunitas sastra, terhadap institusi resmi semacam fakultas sastra saja, tidak jelas kebijakan pemerintah daerah itu. Beda jauh kalau dibanding perhatian kepada fakultas fakultas ilmu yang lain seperti kedokteran atau tekhnik.

Untunglah sastra tidak pernah terpengaruh oleh ada tidaknya perhatian itu. Sastra tetap jalan tanpa didukung oleh kebijakan kebijakan daerah yang resmi. Di mana mana tetap ada lomba baca puisi, lomba menulis puisi, diskusi puisi dan kegiatan kegiatan serupanya yang dilakukan secara spontan. Sastra sama sekali tidak terpengaruh oleh naiknya turunnya jumlah turis yang mengunjungi Bali. Dengan kata lain, perkembangan pariwisata Bali sama sekali tidak berperan terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer di Bali. Gak ada artinya.

Ke Era Proposal

Memasuki tahun 2000, keadaan mulai berbeda. Aktifitas sastra kontemporer Bali mulai beradaptasi dengan pola nasional dan pola global sebagai hasil pergaulan para sastrawan tertentu dengan pola Jakarta dan pola global internasional yang berciri industri serta bersifat budaya massa. Acara acara sastra memang masih berlangsung, namun sudah tidak dalam semangat gradag grudug lagi. Melainkan sebagai bagian dari agenda nasional atau agenda yang diklaim sebagai internasional dan memiliki tujuan – tujuan industri di dalamnya. Dalam pola ini, komunitas komunitas lokal lebih banyak muncul dalam kapasitas sebagai pengikut atau penyelenggara, bukan perencana dari kegiatan itu.

Demikianlah misalnya festival sastra internasional Utan Kayu diselenggarakan di Bali dengan bantuan orang Utan Kayu di Bali, melibatkan para sastrawan yang ada di Bali, namun harus disesuaikan dengan minat penyelenggara pusat. Festival penulis internasional diselenggarakan di Ubud, meminta bantuan para sastrawan yang tinggal di Bali namun di bawah pengawasan orang Utan Kayu juga. Dalam proses proses awalnya malah hanya sekedar melibatkan peserta lokal untuk sekedar mendapatkan legitimasi lokal dari event itu. Misal lainnya, sastrawan Horison jalan jalan buat ketemu para penggemar, para sastrawan di Bali ikut di dalamnya. Namun siapa yang ikut tergantung siapa yang di telepon oleh orang dari Horison. Demikianlah sekedar contoh.
Sejalan dengan fenomena tersebut, keahlian baru pun harus dipelajari. Yakni membuat proposal yang adaptif dengan program program kubu nasional penyelenggara itu. Dan biasanya lebih baik berbahasa Inggris. Undangan undangan ditentukan berdasarkan rapat juri dan diseleksi dengan ketat. Tidak cukup lagi sekedar di halo halo di halaman ApreBud Bali Post. Semua jadi serba tekhnokrasi.

Dari gradag – grudug ke era proposal, demikianlah alur singkat perubahan penyelenggaraan kegiatan sastra di Bali kalau dicermati. Mungkin tak ada yang salah dengan fenomena ini Namun itu terjadi di tengah melemahnya daya kreatif komunitas komunitas lokal dalam menyelenggarakan acara sesuai dengan karakter yang sudah tercipta selama ini. Hingga tahun 2009 ini kita tidak mendengar lagi ada sebuah hajatan besar sastra di Bali yang benar benar menjadi agenda komunitas komunitas yang ada di Bali. Semua kegiatan tampaknya tergantung pada ada tidaknya kegiatan dari jaringan nasional atau global.

Blog

Fenomena terbaru adalah blog. Sepinya aktivitas sastra di dunia nyata dan terbatasnya ruang publikasi media massa mendapat solusinya pada dunia cyber. Meskipun tergolong ketinggalan dari kota kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung, para sastrawan di Bali akhirnya memasuki juga wilayah cyber ini untuk merayakan era komunikatif di dalam sastra. Setidaknya semenjak dua tahun lewat, sejumlah sastrawan di Jembrana dan Denpasar telah memilih Cyber sebagai ruang publikasi mereka.

Lebih dari sekedar ruang publikasi, blog pun telah menjadi sarana berhubungan antar para sastrawan dan pencinta sastra. Melalui blog mereka bahkan juga membuat perkumpulan di dunia maya, merencanakan kegiatan kegiatan sastra dan terlebih penting menurut hemat saya adalah rasa percaya diri yang tumbuh kembali melalui ruang cyber ini. Sebab hanya di ruang cyber saja setiap orang dapat membagi karyanya kepada pembaca tanpa melalui seleksi redaktur dan tanpa harus menunggu sebuah penerbit menerbitkan karya mereka.

Blog adalah terobosan tekhnologi komunikasi paling penting dalam abad ini di bidang jurnalisme individu. Tak terkecuali di dunia sastra. Ia menghancurkan kuasa media cetak dan dominasi generasi tertentu di panggung sastra. Sebab melalui blog seorang dapat mengunggah apa saja yang mau ia katakan tanpa harus melalui izin redaktur sebuah media cetak. Namun kebebasan semacam itu sekaligus menjadi kelemahan dunia blog. Kecenderungannya adalah kita jadi manusia yang tidak selektif dan bisa jadi tidak tahu mana karya yang bermutu dan mana yang tidak. Sebab pada saat sebuah karya dipublikasi secara massal, tanggapan orang bisa berbeda beda sesuai dengan tingkat kemampuan mereka membaca persoalan yang disuguhkan dalam karya tersebut. Bayangkan jika yang menanggap karya kita adalah orang orang yang sebenarnya tidak memahami persoalan yang dituju karya itu. Tentu kita ikut menyangka karya tersebutlah yang bagus.

Jadi diperlukan suatu disiplin pribadi yang sangat ketat untuk dapat menjadikan kebebasan cyber melalui blog ini sebagai ruang yang positif bagi pendewasaan pemikiran dan kreatifitas. Tanpa itu blog akan menjadi sekedar halaman bermain saja dan kita tidak memperoleh manfaat berarti dengannya. Malah akan semakin memperburuk mental generasi kita.

Denpasar, Januari 2009

Read More..