Powered by Blogger.

Musim Menari

>> Friday, July 10, 2009

Ketut Syahruwardi Abbas


Mari kubantu membungkus malam
dengan tarian hening. Berdua.
Musim menari tiba
Semua dikawinkan sesamanya
Maka jangan mengelak. Mari menari.
Biar tercium harum getah ketiakmu
Dan kujamah pelan sampur rambut
dari kamar yang lengang. Sendiri.


Inilah kijang tua menari
tanpa tembang tanpa gambang
Cuma angin. Gagap. Patah-patah.
Sekali mendengus dan tersesat
dalam geliat tangan sendiri

Read More..

Sajak Anak Tuhan

-Buat HSH Adnan

Ketut Syahruwardi Abbas


Puisi tak pernah menghukum.
Ia buat aku jadi seperti anak tuhan
:melenggang di atas riak dan buih,
menyumbat segala yang pantas.
mengubah laut jadi air mata.


Maka biarlah anak tuhan ini tetap
menulis debar jantung di reruntuhan
kelopak kering kembang perdu. Melukis
senyum sederhana anak-anak manusia.
Atau membiarkan semua sepi. Juga puisi
hening sujudmu di malam tak berbunyi.

Yang lamat itu suara hati. Tentang hari
terhempasnya arti. Tentang seorang lelaki
yang terlunta di jalan-jalan tak bernama
:memeluk ranggas pohon dan mencoba
berkata, “Ini rumah para bidadari. Mari
santap malam, dilayani dewi-dewi.”
Padahal angin cuma mengelus dahan
kering. Sebentar lagi lapuk dan gugur.

Read More..

Kain Kebaya Buat Ibu

Ketut Syahruwardi Abbas


Kalau sempat, kukirim
selembar kain kebaya
bersulam kembang-kembang
merah muda. Tapi rinduku
pada harum kembang kopi
tak terajut di larik-lariknya.


Anakmu tak pandai berucap.
Lebih suka pada sepi
dan detak berirama jantungmu
yang kudengar saat dekap
begitu dekat. Tapi kuragukan
waktu masih sisakan irama
sama di bawah langit
yang dibaca kian sulit.

Selalu ada yang tak bisa
kuceritakan padamu. Seperti
burung, aku diterbangkan angin
ke angan zaman yang gamang
:merajut sarang di awan,
mendaki-daki angin
di rentang tak berbatas.

Maka kukirim saja padamu
bordir kembang. Seperti biasa,
beri saja ia tafsir dan ceritakan
pada tetangga, “kembang merah muda
adalah hidup yang gemilang.”
Seperti mimpi-mimpimu tentang
air bening memenuhi ruang.
Dan aku berenang.

Adakah mimpi lain tentang aku?
Berceritalah. Mungkin aku
datang dengan jubah putih
di atas kuda putih, jelmaan daun
dan kelopak cempaka
(masihkah ia berbunga?
aku rindu pada harumnya.)

Di sini aku burung pipit
terbang di pusaran angin.
Tak jelas rupa sarang
tak tentu arah bayang.

Rindulah yang membawaku
pada samar bayang-bayang masa
ketika Mai mengirim sepiring kue
sambil menatapku malu-malu.
(Apakah ia masih mengingatku?)
Juga pada Muhsan. Uria. Dan ciuman
Sofia yang diberikannya lewat jendela.

Masih ada yang bisa dikenang.
Sebatas yang lalu. Tak lagi ada ruang
setapak di bawah daun-daun basah
yang menuntun kita pada senyum
dan cerita-cerita sederhana.
Sebab di pusaran angin ini
cuma ada gempita berjuta dusta
dan kisah-kisah para petualang
di awan yang tak pernah kita kenal.

Maka kalau sempat, kukirim
selembar kain kebaya bersulam
kembang. Kalau kau tak paham
warnanya, anggaplah merah muda.
Kalau tak ada tafsir di sana,
beri saja sesukamu. Sebab anakmu
hidup di awan. Makna tak tertemukan.

Read More..

Ketut Syahruwardi Abbas

EMPAT PULUH EMPAT



Wajah kita beradu di padang kuda-kuda
menekurkan bulu :Kerna waktu memburu
dan pedati lewati tengah hari tanpa isi.


Wajah kita bersua pada gema tak berasal
“Bahkan untuk pahami kekalahan pun
kata enggan tunjukkan makna. Di muka
lapuk mimbar surau kuadukan prihalku.
Kamu diam. Diam. Cuma detak waktu
lingkari gundah dan geleng daun jendela.
Jawabmukah atau cuma keisengan angin?”

Aku tak suka pada cara diammu.

Read More..

Ketut Syahruwardi Abbas

EMPAT PULUH TIGA


Menandai pagi dengan puisi
Maka jatuhlah gerimis.

Tak ada langit di sini. Cuma selarit
garis waktu. Batas pagi dan sejuknya sepi.


Kadang aku takut melepas pandang
pada malam di mana kelam punya rupa
:bulan emas dan impian pada kehidupan
di bintang-bintang. Anak-anak melayang
tanpa beban menukil jalan pada awan.

Di tanah ada embun dan guguran daun.


Read More..

Ketut Syahruwardi Abbas

DARI BANGSAL RS


Kembang merah hijau
baru saja dikembalikan ke ruangku
setelah bau karbol dan larutan bening
nyusup ke urat-urat.
Kubayangkan senyummu.


Begitu sering nyawa putus di sini.
Mungkin dengan selingan gurau kecil
para dokter dan perawat elok
atau tangis pura-pura sanak keluarga
yang lelah mengantar penganan
atau beli obat di apotek. “Mahal!”

Tubuh renta teronggok bagai boneka
rapuh. Kabel dan selang mengantar
harapan atau mencegah keputusasaan
saat garis hidup begitu getas. Maka
yang menghibur adalah kesangsian
apakah engkau akan menjenguk
senja ini. Atau tinggal menunggu
telepon dariku dan cekcok biasa:
“Pulang saja, tubuh tua yang rapuh.”

Di luar jendela yang kusam
kulihat gerimis dan kelam di langit.
tak ada pintu terbuka di sana. Aku
bayangkan tubuhku megambang
tak temukan jalan. Pulang ke mana?
Tak ada tangan terentang, tak ada
senyum sambutan. Hanya kilat.

Mungkin baik juga mengenang
kematian saat kembangmu tiba.
Merah hijau. Pot kecil. Terhalang
ransum tak bergula, tak bergaram.
Siapa tahu kematian memang hanya
semacam nasi putih dan tempe rebus.
Siapa tahu kematian hanyalah kelopak
kembang yang jatuh ke lantai berkarbol.
Biasa saja. Tanpa genderang tanpa apa.

Read More..