Powered by Blogger.

Minggu, 26-12-04

>> Monday, July 24, 2006

Oka Rusmini


Pukul berapa ini? Langit terlihat lebih jernih. Bau apa yang datang? Begitu dingin, bukan bau bunga jeumpa. Juga tidak suara daun kelapa disentuh sapuan buih laut. Aku mendengar bisikan, gemuruh, begitu menyayat hati. Melukai bibir pantai. Mencangkuli urat nadiku. Para nelayan tetap melaut. Sesekali butiran-butiran angin jahat menampar wajah mereka. Meninggalkan noktah kecil panas di bintik mata. Bau asam? Bau lumut? Bau anyir? Bau garam? Bau daging busuk? Bau apa ini? Tak ada suara. Langit menghitam. Gelap. Kadang gelombang menampar kulit mereka. Kadang sapuan angin menggoyangkan perahu mereka. Mungkin hari ini akan kita jaring ratusan ikan-ikan besar.
Perempuan-perempuan menimang anak. Memasak dengan riang. Anak-anak berlarian di bawah sinar matahari yang sedikit meredup. Tak ada hujan. Tak ada angin. Sebuah minggu yang cantik, dengan torehan langit yang begitu jernih. Para perempuan pekerja makin riang, karena setiap hari selalu dipinjam sang hidup untuk membantu para lelaki menganyam dinding-dinding perkawinan. Minggu yang sepi, sedikit kabut. Dan sebuah jam di atas meja jatuh. Jam berapa ini?
Bumi batuk. Sedikit bongkahan mencangkul dinding-dinding rumah. Keluar! Laut telah menelan taman-taman bunga.
Orang-orang menyemut. Perempuan-perempuan menumpahkan air mata. Anak-anak melepas mata. Tak bernafas. Jantung mereka berhenti. Para lelaki tak bersuara. Tubuhnya dingin. Tak ada keringat.
Puluhan ombak. Berdiri dengan angkuhnya di atas kepala mereka. Menyapu rata rumah, tubuh-tubuh basah. Pohon-pohon memeluk tanah kuat-kuat. Kulihat daun-daun kisut. Batang-batang mengerut.
Orang-orang berteriak. Laut lapar. Dia mengunyah apa saja, kayu-kayu, dinding bambu, beton, dan semen. Juga tubuh-tubuh hidup yang menggigil. Berapa detik? Entah!
Waktu tidak lagi ada di bumi itu. Tak ada suara jeritan, hanya gemuruh yang menyapu seluruh bumi. Tak ada yang disisakan. Kuala Tripa, melayang jadi kertas. Tuhanku, ke mana para penghuni negeri ini pergi?
Ombak lapar kembali pulang ke pesisir. Tidak ada luka di bibirnya yang dingin. Tidak juga salam perpisahan. Tak ada darah. Tak ada jeritan memaki. Siapakah ombak itu? Dia melibas istriku. Dia merangkul anak-anakku. Memeluk erat-erat ibu-ayahku. Melemparkan rumah dan binatang peliharaanku. Siapakah dia? Dari bumi mana dia berasal? Mulutnya besar, tangannya keras dan kaku. Tidak ada hati di tubuhnya yang dingin. Juga tak ada wajah dan mata. Juga telinga, tangan, dan kaki. Makhluk hidupkah dia?


2005

0 comments:

Post a Comment