Powered by Blogger.

Tentang Janji Ole

>> Tuesday, October 21, 2014

Atra Senudin


"Tentang Janji" merupakan salah satu puisi Adnyana Ole dalam buku kumpulan puisi Dongeng dari Utara. Puisi ini menarik diulas pada konteks sekarang meskipun telah lama ditulis yakni pada tahun 1994.

Dalam puisi "Tentang Janji" ia menulis: cuma karena laut/ mesti bersatu/ haruskah tanah ini/ kita bagi? Di sini, dengan sangat peka dan jeli Adnyana Ole seperti sedang membaca situasi sosial politik sekaligus meramalkan dampaknya. Dengan bahasa yang lugas, Adnyana Ole menggunakan dua metafora yang dekat dengan kehidupan masyarakat Bali; laut dan tanah. Kedua metafora itu lahir sebagai dua kelompok besar yang memiliki kepentingan berbeda. Sedangkan penggunaan sapaan “kita” yang dipilih adalah perwakilan kaum akar rumput yang seringkali menjadi korban dua kelompok tersebut.

Meskipun dalam kata pengantarnya, Adnyana Ole menulis bahwa sebagai seorang wartawan dia bisa saja menulis puisi dengan kosakata sekaligus tema yang berasal dari dunia politik, demokrasi, diskriminasi, atau persamaan gender, tetapi ia tak bersemangat menulis puisi dengan tema tersebut. Alasan itu tentu saja tidak membatasi ruang bagi pembaca untuk menelisik apa yang terkandung dalam puisi-puisi Adnyana Ole. Sebab kritik yang jujur dan apresiasi yang sensitif diarahkan bukan kepada penyair tetapi kepada karyanya (puisi).

Puisi Tentang Janji memberi aroma baru ketika dibaca dalam konteks kekinian. Membaca puisi tersebut berarti bercermin pada diri sendiri. Kita menjadi penonton yang sedang duduk disebuah kursi sambil bertopang dagu. Sedangkan di atas panggung pementaran puisi menari-nari. Kita seakan-akan sedang dibuatnya gelisah, menangis, bahkan mungkin tertawa. Usai puisi itu menari-nari, kita dihadapkan pada kenyataan sawah ladang pasrah/ panen kita berbeda.

Berkaitan dengan janji, Adnyana Ole membenturkan kesadaran kita pada kenyataan. Dari dalam gedung pementasan, Adnyana Ole membawa kita ke luar. Suatu kenyataan yang tak asing di pikiran, tetapi tak sedap di pandangan mata.
Di luar gedung pementasan itu, kita mendapati tebaran janji tumpah ruah ke jalan. Baliho-baliho yang berisi janji-janji manis menjadi pemandangan tak asing. Musim kampanye menjadi musim yang ditunggu-tunggu. Sebab hanya pada musim itulah kebohongan seakan menjadi sesuatu yang lumrah.

Janji-janji kampanye hanyalah sebuah laku bersilat lidah. Ketika berhasil mendapati jabatan, tak menepati janji pun tak mengapa. Janji telah berubah konotasinya. Janji bukan lagi memberi harapan baru tetapi beralih menjadi kata yang tak berarti pun bermakna. Jika sudah demikian janji tak bisa lagi dipercaya. Dan kita hanya disuguhkan sebuah kenyataan pahit.

Karena itulah, tak heran jika saat ini keributan terjadi hampir disemua lini kehidupan. Keributan itu dalam artian harafiah tak mampu merubah apa-apa ketika kebanalan untuk menanggapi apa yang disebut aspirasi hanya sebagai angin lalu. Keributan itu hanya menunda kesadaran sampai akhirnya kita tahu bahwa kita tinggal hanya bisa bicara, dalam arti membuka mulut saja. Tetapi Adnyana ole membongkar kesadaran itu melalui puisi.

Pada bait terakhir puisi Tentang Janji, Adnyana Ole dengan cara yang seksi kembali membangkitkan kesadaran kita. Bila janji punya harga/ percakapan kita bergerak/ ke langit/ tak berkampung/ tak berhalaman. Di sini ia memberi ruang yang sangat luas untuk menebak, masihkah janji itu menyimpan harapan?

Bagi saya, puisi Tentang Janji adalah sebuah mozaik dari pecahan-pecahan keramik simbol. Sebuah gerabah yang disusun dari rekatan-rekatan gerabah lainnya. Tentang Janji menjadi sebuah puisi yang berhasil merekam kegelisahan pada zamannya sendiri.

Bali, 20 Oktober 2014

0 comments:

Post a Comment