Powered by Blogger.

Sungai Mississippi

>> Thursday, October 16, 2014

Frans Nadjira


1
“Mesin, berikan kartu nasibku hari ini”
kataku sejam lalu
sewaktu menekan tombol sebuah kotak
Tapi yang meluncur ke luar
sebuah kapal es krim. Begitu sempurna.


Dengan kapal itu, kini
kulayari Mississipi. Sesat
diantara penumpang lain
yang tak kukenal. Bercakap
campur aduk
                     mabuk
                 semaput
saling beradu gelas
bayangan mereka tindih menindih dalam kaca :
    “Minum, ini anggur dari cairan otak orang Indian !”

Minum, baru sejam lalu aku meminta
kartu nasibku pada sebuah kotak es krim.
Wajahku yang aneh menempel pucat di kaca
     awal musim dingin
Menempel pucat di daun yang terhimpit
di bawah sepatu orang tua
yang meludah seenaknya di tepi jalan taman-taman. Awal musim dingin
                                                                                    Belahan bumi yang lain
Cuaca yang lain. Mengapa bumi ta rata
agar matahari dapat membagi cahayanya?

Baru sejam lalu aku menginginkan kartu nasibku
Setelah makan kenyang. Setelah membanggakan Borobudur
yang kini sedang dipugar pada seorang komunis yang sinis
Setelah melihat daun rontok terseret sepanjang jalan.
Mississippi, masa lalu adalah kawah bawah laut
Dan anggur  tak akan mampu mengusir rasa takut.

2
Yau’re crazy! Tapi kita sama saja
tak paham diri sendiri
menolak menerimanya
                           berlari
ke halaman suatu senja, berdiri
mengangankan mulut ke langit
meramal gelagat cuaca
memandang ke dua garis asap melengkung jingga:
                                      orang-orang berangkat
                                      entah tiba atau tidak,
Namaku Mark Twin. Aslinya Samuel Clements. Kau?
Aku? Baru sejam lalu aku bicara dengan seseorang
tentang Borobudur. Tentang bumi yang tak ceper. Tentang
mereka yang lahir di satu tempat tapi tak lagi memiliki
tempat. Tentang salju dan angin puyuh. Tentang roh, kelahiran,
nasib dan kematian. Tentang diriku yang tak retak
bahagian dalamnya dan selalu menjenguk ke luar.
Sebab inginku
lahir sebagai gunung
yang dapat menghancurkan tubuhnya
dan setiap pecahan menjadi Kristal api.
Atau
Jadi RASA             mengalir dalam udara
                            meniup ke  paru-paru
Berkata                hirup yang dalam
                             Hirup           Hirup
                             Lalu merkapun hidup.
                  Jadi aku yang memberi hidup
                  Aku yang meniupkan roh
                  Aku yang menyeberang di siang lengang
                  menyapa baying-bayang
                  yang setia mengikuti raga.
Tapi nyatanya
Aku tak pernah tahu
kapan aku lahir                      dari rahim yang mana
Dan begini                             jadi orang yang sukar
akrab dengan diri sendiri. Yes I’m crazy memang
but I’m not a suisaidal person.

“Tapi kau belum menyebut namamu”.

         

*Sajak ini pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan "Kalam" Edisi 2 - 1994

0 comments:

Post a Comment