Powered by Blogger.

Cok Sawitri: "Puisi Bukan Sekadar Barisan Kata Indah"

>> Wednesday, October 15, 2014

Cok Sawitri
Laporan: Ida Ayu Made Sadnyari (Tribun Bali)

NODA di bibir cangkir kopi nampak mengering. Secangkir kopi panas berganti dingin, tiada aroma tercium hanya terlihat semut mengerumininya.

Perempuan bercelana panjang selutut, duduk berhadapan dengan laptop dan dikelilingi buku-buku novel, cerpen, dan puisi, yang semuanya tertera nama penulis, Cok Sawitri.

Perempuan inilah Cok Sawitri, demikian seriusnya berkarya dan seluruh perhatiannya tertuju pada penyelesaian rekaman dokumentasi puisi yang saat itu sedang digarap.

Seniman perempuan yang dikenal idealis dan menjunjung tinggi nilai seni budaya ini juga aktivis yang selalu berada di garis terdepan ketika suatu kebijakan bertentangan dengan hati nuraninya.

Sederhana dan tampak apa adanya, ketika Tribun Bali bertandang di kediamannya di Jalan Tukad Batanghari XI No 6, Denpasar, Rabu (16/7/2014).

Perempuan berdarah biru yang terlahir di keluarga Jro Gede Sidemen, Karangasem ini, memiliki masa kecil yang menyenangkan dan memengaruhi kehidupannya saat ini.

Seniman-seniman ternama lahir dalam lingkungan keluarganya, ini juga yang membuatnya enteng berkesenian.

"Ayah saya pengarah teater, dan keluarga ibu juga sebagian besar adalah penulis. Sejak kecil terbiasa dihadiahi buku-buku. Dari situ cakrawala pengetahuan terbuka, saya terbiasa melihat aktivitas seni yang terjadi setiap hari di lingkungan rumah," ujar perempuan kelahiran 1 September 1968 ini.

Sejak TK dia sudah bisa membaca, semakin dewasa minat bacaannya jelas buku bacaan yang berat membuat idenya mengalir.
Baginya, saat itu bukan hal istimewa jika seseorang bisa menari atau membaca puisi karena ia ada dalam lingkungan itu. Saudaranya, semua rata-rata pintar menulis puisi.

Hingga SMP, Cok Sawitri sudah percaya diri menyutradarai puisi, memimpin majalah mading, larut dalam organisasi sekolah.

"Awalnya senang menulis dan teater. Menulis puisi sudah saya lakukan sejak kelas 5 SD. Biasanya, kalau ada kejadian sosial yang menggerakkan saya untuk membuat puisinya," ujarnya.

Meski tidak produktif, dia berharap mendapatkan hasil yang sempurna. Untuk menulis puisi, perlu memperhatikan pilihan kata dan irama, sehingga menjadi logis untuk mewakili ide cerita yang ingin disampaikan.

Bahkan dalam memilih puisinya sendiri yang akan didokumentasi sangat ketat penilaiannya. Ia menginginkan karya yang benar-benar berkualitas. Sebab baginya, menulis puisi tidak sebatas membariskan kata-kata indah, namun tetap harus logis.

Sejak di bangku sekolah, Cok Sawitri memang sudah terbiasa menulis dan mengirimnya ke media masa lokal di Bali. Ia juga kerap menjuarai setiap lomba di bangku SMA, seperti lomba pidato Bahasa Bali, dan ini berlanjut hingga kuliah. (day)


Sumber: Tribun Bali

0 comments:

Post a Comment