Pelukis Kata Bernama Frans Nadjira
>> Thursday, September 04, 2014
Oleh: Ivan Kavalera
Karya-karyanya beterbangan ke banyak media seperti Horison, Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Bali Post, AIA News (Australia), Muriara, CAK dan lain-lain. Juga dalam antologi Terminal Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, The Spirit That Moves Us (USA), Tonggak, On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, Springs of Fire Springs of Tears, Horison Sastra Indonesia, Jendela Jadikan Sajak dan beberapa buku apresiasi sastra Indonesia.
“Lukisan lahir dari kekuatan kosmik lewat tangan pelukis”, kata Frans di suatu hari. Sebagaimana cabang seni yang lain maka puisi, prosa dan sebagainya adalah artefak-artefak yang menandai sebuah peradaban. Karya Frans dapat disebut sebagai salah satu artefak penting yang masih akan digali oleh generasi-generasi mendatang. Cuplikan dari salah satu cerpennya berikut ini mungkin bisa lebih mempertegas tentang Frans Nadjira yang melukis kata dengan ribuan warna.
Bercakap-cakap Di Bawah Guguran Daun-daun
Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari.
Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari memandang ke bintang -bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal-soal kesenian. Atau tentang adanya kenyataan yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Lihat, angin melucuti dedaunan dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.
Kehidupan yang polos. Seperti yang pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan. (nukilan dari salah satu cerpen Frans Nadjira)
Sumber: Klik di Sini
0 comments:
Post a Comment