Pertemuan Dua Guru
>> Monday, September 15, 2014
Putu Wijaya dan Umbu Landu Paranggi - Foto: Sugi Lanus |
Foto/teks oleh: Sugi Lanus
Setiap Putu Wijaya berencana ke Bali, saya langsung di sms atau ditelpon. Putu Wijaya tahu kalau saya salah satu pembaca terseriusnya. Saya baca karena isu dalam karyanya terkait budaya, etos kerja, pemikiran dan konflik orang Bali. Barangkali juga karena Putu Wijaya merasa menemukan 'anak asuh' di Bali. Saya mengikuti hampir seluruh karya tulisnya. Kebetulan juga kami sama-sama satu alumni, SMA Negeri 1 Singaraja, sekolah menengah atas tertua di Bali.
Setiap Putu Wijaya berencana ke Bali, saya langsung di sms atau ditelpon. Putu Wijaya tahu kalau saya salah satu pembaca terseriusnya. Saya baca karena isu dalam karyanya terkait budaya, etos kerja, pemikiran dan konflik orang Bali. Barangkali juga karena Putu Wijaya merasa menemukan 'anak asuh' di Bali. Saya mengikuti hampir seluruh karya tulisnya. Kebetulan juga kami sama-sama satu alumni, SMA Negeri 1 Singaraja, sekolah menengah atas tertua di Bali.
Putu Wijaya diasuh dan didorong oleh Ibu
Gedong Bagus Oka ketika sekolah di Singaraja, saya juga mendapat banyak inspirasi
dari Ibu Gedong semasa beliau memimpin ashram. Maka saya dan Putu Wijaya biasanya
ngobrol berangkat dari beberapa titik persamaan itu.
Putu Wijaya, karena sekolahnya di Buleleng,
dalam ekspresi lebih Buleleng dibanding Tabanan. Sebagai orang Buleleng kami
nyaman. Biasanya setiap kunjungan kami ke Buleleng, menenggok dramawan Silur
(almarhum), teman Putu Wijaya. Juga berjumpa dengan banyak sahabat Putu Wijaya
di Buleleng. Saya dengan senang hati jadi supirnya, sekalian pulang kampung dan
menyerap percakapan Putu Wijaya dengan sahabat-sahabat seangkatannya. Sepanjang
jalan, biasanya kami berdua PP ke Buleleng-Badung, kami berdiskusi soal
ke-Bali-an dan seterusnya.
Perjumpaan Putu Wijaya dan Umbu Landu (seperti
yang terlihat dalam foto ini-red) terjadi mendadak. Setelah makan malam saya ke
Hotel Bali menjumpai Putu Wijaya. Karena ingin jalan-jalan sekitar Denpasar,
malam itu saya ajak Putu Wijaya mengunjungi persembunyian Umbu Landu Paranggi.
Putu Wijaya bertanya, “Apakah Umbu nanti tidak terganggu?” Saya tidak jawab,
saya arahkan saja kendaraan tempat Umbu.
Saya terinspirasi oleh Umbu Landu Paranggi
untuk menulis. Putu Wijaya menginspirasi saya untuk tetap hidup teratur dan
sehat, disiplin, tidak merokok, tidak minum, serta bertanggungjawab, sekalipun
menjadi seniman besar. Saya merasa akan menarik kalau dua guru ini berjumpa. Mempertemukan
mereka seperti mempertemukan dua samudera besar. Malam itu kami ngobrol santai.
Setelah beberapa lama, mereka kelihatan sangat rileks dan berbahagia, seperti
perjumpaan sahabat lama, dalam suasana saling menghormati.
0 comments:
Post a Comment