Kartu Pos Sebuah Kota
>> Wednesday, September 10, 2014
Warih Wisatsana
bagi: Jean Moulin
Sebuah
kota, bayangkan, penuh payung hitam
Murung dan muram
Setiap
nama jalan kuhapal, tapi selalu sepatuku
sesat di situ; selalu kapel tua di tikungan
bangku
kayu bisu, juga apel membusuk perlahan
di rumputan di tepi taman
Seolah
dinujum mimpi, terjadi berulangkali di sini
Beribu mil gigil di belahan bumi yang lain
Cuaca dingin yang sungguh lain
Berulangkali,
seorang ibu bersyal biru
dengan anjing kelabu, bertanya padaku
Seperti
pengungsi diinterogasi, tak boleh pergi;
Siapa
namamu, dari negeri mana asalmu?
Seketika
ingin kuputar undur jarum jam
Meninggalkan
arang, puing malam,
kemah
pesta kaum hitam di pinggir hutan.
Juga
raung seram serigala yang geram
Menemukan
bayang bulan separuh lebam
berdarah,
tenggelam di lubuk yang dalam
Atau
ingkar janji; menari liar hingga dini
bersama seorang gadis gipsi
Di
ruang bawah tanah, disaksikan sepasang
malaikat
bisu, yang hangus tertembus peluru
Terpahat lumut, lekat sepanjang dinding
Kekal
jadi tawanan ingatan, jadi teka teki waktu
Tapi
kota, bukankah mirip perangai cuaca, tak mau tahu
Siapa
yang sungguh bahagia, siapa yang nyata sengsara?
Tak
mau peduli; beribu mil aku gigil, tersekap di sini
Bertahan
melawan amuk topan, melawan ketakutan
jadi
pengungsi tak bisa pergi, tak punya jalan kembali
bahkan hasrat untuk menyelamatkan diri.
Lalu
di stasiun, salju bergegas menghapus jejakku
menghapus sebagian ingatanku
Tak
ada tiket di loket
hanya jerit peluit
hanya rasa sakit
Sisa
bayang kenangan; sisa derit seperangkat alat
pencabut
kuku, penyayat kulit, hingga rusuk remuk
serupa serbuk
Di
sebuah barak yang sesak, yang tak berjarak
dari
setumpuk boneka kikuk, mainan riang kanak-kanak
Dari
tungku siksa masa lalu, saksi segala yang dulu jadi abu
Bahkan
saat itu kata kata hangus, terhapus panas napas
Juga
firman, asma tuhan, doa rahasia
yang disamarkan luka di telapak tangan
musnah
kini tinggal rangka, tinggal sayup gema
Kerling
bening yang jenaka, bocah nakal yang jenaka
Cuma tersisa di akhir cerita pelipur lara; di mana
tiga
penyihir terusir, tiga burung gagak terkutuk sirna
Tiga
peri kecil berambut ikal, bersayap terang bintang
terbang riang mengelilingi mahkota nasib kita.
Nyanyi
mereka seolah titah tak terbantah; sekali sentuh
jadilah:
Sunyi
pun sekejap menjelma roti, getir di bibir jadi anggur
wangi
Tapi di luar dongeng, di kamp yang mencekam
mata
bapak terbelalak mata ibu pilu, dihitung dan digiring
Meniru
langkah lelah prajurit yang kalah, pesakit yang pasrah
ke sebuah subuh yang ingin teduh
Ke
suatu tempat, di mana kini aku sesat, tak tercatat
Tak
beralamat, percuma menunggu isyarat selamat
Sia-sia pasrah tengadah ke langit
Bintang
kudus hanya milik orang majusi
Bintang
naasku sesaat lewat
terisak di ufuk, ingin sekali beralih bentuk
Kekal
jadi tawanan ingatan, selalu jadi teka teki waktu.
1998 - 1999
0 comments:
Post a Comment