Powered by Blogger.

Kain Kebaya Buat Ibu

>> Friday, July 10, 2009

Ketut Syahruwardi Abbas


Kalau sempat, kukirim
selembar kain kebaya
bersulam kembang-kembang
merah muda. Tapi rinduku
pada harum kembang kopi
tak terajut di larik-lariknya.


Anakmu tak pandai berucap.
Lebih suka pada sepi
dan detak berirama jantungmu
yang kudengar saat dekap
begitu dekat. Tapi kuragukan
waktu masih sisakan irama
sama di bawah langit
yang dibaca kian sulit.

Selalu ada yang tak bisa
kuceritakan padamu. Seperti
burung, aku diterbangkan angin
ke angan zaman yang gamang
:merajut sarang di awan,
mendaki-daki angin
di rentang tak berbatas.

Maka kukirim saja padamu
bordir kembang. Seperti biasa,
beri saja ia tafsir dan ceritakan
pada tetangga, “kembang merah muda
adalah hidup yang gemilang.”
Seperti mimpi-mimpimu tentang
air bening memenuhi ruang.
Dan aku berenang.

Adakah mimpi lain tentang aku?
Berceritalah. Mungkin aku
datang dengan jubah putih
di atas kuda putih, jelmaan daun
dan kelopak cempaka
(masihkah ia berbunga?
aku rindu pada harumnya.)

Di sini aku burung pipit
terbang di pusaran angin.
Tak jelas rupa sarang
tak tentu arah bayang.

Rindulah yang membawaku
pada samar bayang-bayang masa
ketika Mai mengirim sepiring kue
sambil menatapku malu-malu.
(Apakah ia masih mengingatku?)
Juga pada Muhsan. Uria. Dan ciuman
Sofia yang diberikannya lewat jendela.

Masih ada yang bisa dikenang.
Sebatas yang lalu. Tak lagi ada ruang
setapak di bawah daun-daun basah
yang menuntun kita pada senyum
dan cerita-cerita sederhana.
Sebab di pusaran angin ini
cuma ada gempita berjuta dusta
dan kisah-kisah para petualang
di awan yang tak pernah kita kenal.

Maka kalau sempat, kukirim
selembar kain kebaya bersulam
kembang. Kalau kau tak paham
warnanya, anggaplah merah muda.
Kalau tak ada tafsir di sana,
beri saja sesukamu. Sebab anakmu
hidup di awan. Makna tak tertemukan.

0 comments:

Post a Comment