Powered by Blogger.

Pastoral Kupukupu, Sarat Renungan Sufistik

>> Thursday, August 13, 2009

Judul Buku : Pastoral Kupukupu
Penulis : I Made Suantha
Penerbit : Arti Foundation
Tebal : ix + 143 halaman
Cetakan Pertama : Agustus 2008

Sekitar tahun 1980-an, Bali banyak ditumbuhi penyair muda. Mereka berlomba-lomba merebut ruang sastra di Bali Post yang diasuh motivator, pencari bakat, penyair sekaligus “suhu” puisi, Umbu Landu Paranggi. Saat itu, penyair muda bermunculan hampir di setiap kabupaten di Bali. Bahkan penyair, atau anak-anak muda yang menggilai puisi, menjamur hingga ke tingkat kecamatan, desa, dan banjar. Umbu seakan tidak kenal lelah, bahkan hingga sekarang, untuk terus melakukan panggilan kreatif kepada anak-anak muda itu. Panggilan kreatif yang dibarengi kegiatan-kegiatan apresiasi itu membuat anak-anak muda semakin gayeng merebut ruang eksistensi untuk meneguhkan jati dirinya sebagai penyair.

Namun seiring irama waktu, penyair-penyair muda itu memasuki hukum rimba dan takluk pada seleksi alam. Hanya sedikit dari mereka yang masih tekun menggeluti dunia puisi hingga kini. Sebagian besar raib ditelan gelombang kehidupan yang semakin gila dengan pertarungan-pertarungan duniawi dan materialisme. Mungkin, mereka lebih memilih hidup “membumi” ketimbang merana dalam ruang “awang-awang”, kalau penyair dianggap sebagai suatu profesi yang tidak menghasilkan gaji bulanan.

Tersebutlah di sebuah desa bernama Sanur, sekitar pertengahan tahun 1980-an, muncul sekelompok penyair muda bernama Pojok Sanur. Mereka gayeng bertempur di ruang sastra Bali Post dengan kelompok-kelompok penyair lainnya. Dengan kecerdikannya sebagai motivator, Umbu membuatkan arena bagi mereka, yakni: Pos Pawai, Kompetisi, Kompro (Kompetisi Promosi), Pos Budaya, Solo Run, Duet-Duel, dengan beberapa variasi istilah lainnya. Darah muda bertemu arena dan “tukang kompor”, maka terjadilah pertarungan unjuk kehebatan dan pencapaian masing-masing dalam bekarya kreatif. Salah satu penyair dari Pojok Sanur yang tekun berpuisi adalah I Made Suantha.

I Made Suantha lahir di Sanur pada tanggal 24 Juni 1967. Di usia yang masih sangat muda, Suantha telah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membaca sajak-sajaknya dalam Forum Puisi Indonesia 1987 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat itu DKJ dan TIM masih sangat angker bagi penyair dari daerah, merupakan tempat keramat dimana seseorang bisa dibaptis menjadi penyair nasional. Dua tahun kemudian Suantha menerbitkan buku kumpulan puisi tunggalnya yang pertama, Peniup Angin (1989). Saat itu, Suantha merupakan representasi dari impian setiap penyair muda dari daerah: diakui secara nasional dan memiliki buku puisi tunggal.

Kini, Suantha kembali menerbitkan buku kumpulan puisi tunggalnya, bertajuk Pastoral Kupukupu (Agustus 2008). Buku itu diterbitkan Arti Foundation atas bantuan program Widya Pataka yang digagas Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali.

Membaca judul buku ini, kemudian menyelami dan menyimak 65 sajak yang terangkum di dalamnya, orang bisa merasakan ruapan hawa relegius dan sufistik dari seorang penyair yang tekun menjelajahi dunia kebatinan. Dalam penjelajahan itu tentu muncul berbagai kegelisahan dan benturan berkaitan dengan penemuan kesejatian diri, Sangkan Paraning Dumadi untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti. Ada pertanyaan esensial “Dari mana aku, mau ke mana aku?” untuk menjelajahi dan mencapai sebuah tahapan penyatuan “aku dan Kau”, peleburan “atma dan Atman”.

Sajak-sajak dalam buku ini terbagi menjadi empat bagian, yakni Terracota Kupukupu (6 sajak, dibuat tahun 2003-2004), Repatriasi Kupukupu (15 sajak, 2006-2007), Restorasi Kupukupu (22 sajak, 2004), dan Pastoral Kupukupu (22 sajak, 2004-2005). Masing-masing bagian dipisah dengan ilustrasi khusus perihal kupukupu dengan makna-makna tertentu.

Suantha mengatakan kumpulan puisinya ini adalah potret dari perjalanan dengan nada hati yang kacau, sebuah pertanyaan yang sumbang, sebuah jawaban yang lugu. Bagi Suantha, membaca diri sama dengan memahami kupukupu menyuling madu. Orang merasakan pahit dari perasan manisnya. “Di setiap kata, bait, kalimat, ada potongan-potongan tubuh dan jiwa saya yang termutilasi, berserakan,” kata Suantha.

Kupu-kupu merupakan simbol yang tepat untuk menggambarkan penjelajahan diri Suantha dalam dunia puisi yang lama ditekuninya. Ia menulis sajak lebih sebagai pelepasan dari penjelajahan batinnya. Kata-kata, frase, metafora, irama, bunyi, tipografi yang aneh saling berkelindan, saling melilit dan membelit, untuk berusaha menemukan jalan kesejatian puisi. Suantha seperti seekor ulat yang menjadi kepompong dan pada akhirnya menjelma kupu-kupu yang indah dengan aneka warna sayapnya.

Sajak-sajak Suantha penuh dengan kegelisahan dalam merambah pengembaraan batin. Sesekali dia menemu, lalu terpesona dan terpaku pada berkas cahaya Ilahi. Di lain waktu dia jumpalitan dalam ruang muram batinnya yang penuh raung kata-kata. “Ruang di langit tak menentu. Jangan karamkan aku dalam kegelisahan ini,” teriak Suantha dalam sajak Repatriasi Kupukupu-9 (hal.35). Sekali waktu, Suantha memang “merasa menempuh jalan yang tak menentu”.

Ya, itulah jalan puisi sejatinya. Ada saat-saat penyair memang tidak pernah merasa menemukan tujuan. Padahal sesuatu yang bernama tujuan bermukim di dalam diri penyair itu sendiri. Suantha pada akhirnya meyakini itu, seperti ditegaskan dalam bait terakhir sajak “Repatriasi Kupukupu-9”: Aku menyeberangi detak. Aku sendiri merasa mengejamu!/Aku menyeberangi denyut jantungmu, menenggelamkan diri/Sampai yatim piatu di kemah itu!

Membaca sajak-sajak Suantha, kita seperti diajak mabuk kata-kata, hingga mencapai ektase dalam kesurupan kata-kata. Dalam sajaknya, kata-kata, simbol, metafora berhamburan berebut makna dan perhatian, seperti mencari jalan dan tujuan masing-masing. Di lain waktu, kita menemukan sajak-sajak Suantha seperti pertarungan tiada habis antara sosok dan bayangannya untuk mencapai kesejatian diri.

Di dalam sajak-sajak Suantha, kita menemukan metafora-metafora bernuansa sufistik yang banyak bertebaran. Misalnya penggunaan kata “mawar”. Mawar merupakan simbol sufi. Pada beberapa sajaknya, Suantha getol menggunakan simbol mawar. Sebagai seorang perambah rohani, Suantha juga suka menggunakan simbol jukung yang banyak muncul pada sajak-sajak awalnya. Seperti pada sajak “Suluk Kupukupu Air: Sebuah Epitaph 1” (hal.7) yang salah satu baitnya berbunyi: Siapa mengusap jelaga di peluh/Menetes seperti darah rinduku/ Dalam mengenangmu!/Mengalir kampung halaman/Gairah moyang/Dan jukung didulang hasrat/Sebuah tembang hampa!

Memasuki sajak-sajak Suantha seperti memasuki hutan rimba. Banyak hal tak terduga bisa ditemukan dalam rimba itu. Atau mungkin memahami sajak-sajak Suantha seperti memahami kedalaman laut yang tak terpahami. Semakin diukur semakin dalam. (Wayan Sunarta)

0 comments:

Post a Comment