Powered by Blogger.

Kematian-kematian (I)

>> Saturday, August 15, 2009

Cok Sawitri


Mati pun susah atau bisa jadi menyusahkan, karena itu jagalah hidup, menujulah mati yang wajar. Dalam tradisi bali diajarkan agar berusaha sedemikian rupa menghindari kematian yang tidak wajar, yang pertama janganlah melakukan 'ulah pati', sengaja membunuh hidup diri sendiri. Tidak akan dipertimbangkan sebab kesengajaanya itu; entah disebabkan karena patah hati, karena bangkrut, kalah pemilu ataukah ideologi plus keyakinan, jika seseorang melakukan ulah pati, maka proses terjadinya kematian itu yang akan dijadikan kadar ukuran keluarnya sangsi sosial dan adat; Yakni, tidaklah bisa segera jenasah yang mati itu seketika disucikan atau diaben.

Sangsi kepada yang melakukan ulah pati ini berdampak kepada keluarganya, karena akan menanggung kesedihan, rasa kehilangan juga secara psikologis menanggung sangsi sosial, sebab tidak bisa melaksanakan upacara pengabenan dengan segera. Beragam sangsi sosial itu, tergantung desa, kala dan patranya, ini penjelasan mengapa timbul cara berbeda menghadapi peristiwa mati dengan cara ulah pati, kemudian mati yang lain adalah 'salah pati; mati tidak direncanakan, namun kematian itu dialami dengan tidak wajar; kecelakaan, kena bom, tenggelam,dsbnya.

Salah pati ini tidak kena sangsi sosial, namun konskwensinya adalah roh yang meninggal harus diyakinkan bahwa dia telah tiada, sebab dalam keyakinan tradisi bali, jika belum waktu seseorang itu mati dan ternyata jalan nasib menyebabkan seseorang itu mati, maka roh itu akan tidak rela meninggalkan dunia ini. Rentetan upacara akan dilakukan menjadi katalis dari duka cita; dari upacara memanggil roh (ngulapin) dan juga pembersihan energi kesedihan di tempat kejadian...

Kematian adalah pecahnya energi dalam hidup, bila dengan wajar akan menjadi energi yang menguatkan hidup; apabila tidak dengan wajar akan menjadi energi yang mengejutkan jiwa yang hidup; mengganggu keharmonian menjadi duka cita yang mencekam. Kemudian ada juga yang disebut dengan ''nge pet pati"" sengaja menantang bahaya dan memiliki peluang terjadinya kematian atas diri sendiri. Ini biasanya terjadi bagi yang emosional tinggi dan mudah marah,senang membuat masalah, sehingga membuat orang lain menjadi marah pula. Ketiga sebutan akan kematian ini sebenarnya memberi ajaran kepada masyarakat di bali; dari dahulu hingga kini; agar menjaga hidup, menjaga anugrah hidup.

Sungguh berbeda dengan kematian dalam perang, itu kematian 'kstaria', kewajiban ketika membela kebenaran, membela dharma. Itu pun dengan aturan yang jelas.Perang dalam konteks tradisi bali itu tidaklah semata membunuh musuh, namun juga mematikan permusuhan dalam diri. Percakapan arjuna dan kresna misalnya, dalam bhagawad ghita menjelaskan tentang tujuan kematian; dengan jalan apa dan tujuannya kemana. Intinya, jika kematian membela dharma, keyakinan, ideologi tidaklah untuk kekuasaan, namun untuk keharmonian yang hidup. Kematian adalah hal yang paling menakutkan bagi yang hidup; ketakutan ini tidaklah membuat manusia itu harus takut mati. Siklus hidup itu ada; kecil, remaja, dewasa kemudian tua. Hanya Tuhan kemudian yang berhak memetik daun-daun dari pohon asvatta ini, bukan tangan manusia, apakah melalui penyakit ataukah sebab lain, namun manusia adalah mahluk yang optimis yang diberi kesempatan untuk berjuang atas hidup dan kehidupannya.

Kini, kematian-kematian yang terjadi di sekitar kita seolah tak berkaitan dengan yang masih hidup; tanggung jawab sosial menipis ketika kematian hanya diartikan sebagai mati! kematian adalah keagungan untuk 'hidup' kembali, karena itu yang hidup memiliki juga kewajiban untuk menjaga keagungannya. Tanpa alasan jelas, menempatkan orang lain sebagai musuh, itu yang dilakukan para peneror: itu bukan kematian kstaria, tidak akan masuk surga; juga bukan pahlawan bagi yang hidup. Kematian dengan cara itu adalah 'nge-pet pati, ulah pati yang mengakibatkan salah pati" betapa beban sosial bagi yang hidup harus ditanggung, dimana surganya? Jika yang hidup harus menanggung berbagai beban sangsi sosial. Itu sebabnya...sejak dulu, dalam tradisi-tradisi lama, hidup di jaga, perilaku di jaga; dimana penganut agama itu kuat, di situ sikap hidup akan makin toleran, dimana penganut agama itu seperti 'trend' hanya fashion religius, maka di situ fanatisme, kemunafikan dan salah kaprah menghadapi perbedaan ditunjukan, disitu keegoisan subur, di sana kebencian dan dendam dijadikan argumentasi alasan kematian.

Mungkin kini, menghadapi perilaku trend fashion religius ini, yang hidup harus mulai kembali menata soal sebab dan cara kematian-kematian ini. Mau tidak mau, pemimpin harus jeli dan sensitif mengajak semua pemuka masyarakat, membuka kembali, tujuan hidup dan tujuan kematian: dengan jalan yang mana. Juga mengingatkan bahwa ada desa kala patra: ukuran dan kadar yang berbeda dalam hidup yang serupa sekalipun. menghentikan kebiasaan kaum politisi yang mendorong fashion religius makin subur, hanya demi pengumpulan suara, menyuburkan, mengembangbiakan sentimen dalam perbedaan. Perlu keteguhan hati kini, untuk mengajak yang hidup tidak terpancing berpura-pura tengah memasuki jalan kesucian; yakni keasyikan mengkonsumsi berbagai ornamen busana keagamaan, bukan menyerap dan memperilakuan kebaikan, tak paham-paham juga tentang hidup dan kematian itu; dua hal yang sepertinya tak berkaitan; kini dengan fanatisme, kebencian dan dendam dirayakan sebagai tanda menuju kemenangan.

Memanglah kenyataan: hidup membuat manusia bersaing, berlomba dan menjadi serigala bagi yang lain; agama memintanya untuk menjadi mahluk penyayang. Kalau sayang kepada hidup, pasti sayang akan sesama, akan keluarga, sayang akan negara. Kalau mengira hidup ini hanya untuk diri sendiri: maka jelas, yang mengambil jalan 'nge-pet mati, ulah pati dan mengakibatkan salah pati itu' adalah sang raksasa, denawa yang dirangsuki bhuta kala. Tak bedanya demikianlah mereka: tak ada kesucian, tak ada surga dalam hidup maupun setelah kematian.

Duhai...kematian, datanglah dengan keindahan dan keagungan, memberi senyum bahagia bagi yang ditinggalkan, bukan kengerian dan kenyerian yang ditinggalkan. Bagi yang hidup, tentunya kemudian harus terjaga, dibangunkan untuk saling mengingatkan, mengapa terjadi demikian? desa kala patra akan menjawab: cara untuk menghindarkan orang-orang tumbuh dalam alam pikiran yang tersesat, mengira perang tengah terjadi, kematian seperti jalan bebas hambatan menuju surga, padahal: jelas sekali, kematian itu.....telah menutup pintu sorga! bahkan bagi yang hidup! Hidup pun jadi neraka. Apakah demikian ajaran yang diamalkan dalam rangka menuju kesucian?

0 comments:

Post a Comment