Sebuah Ziarah kepada Puisi
>> Saturday, August 08, 2009
Oleh: Riki Dhamparan Putra
Suatu malam ujung jemarinya menciptakan nama-nama bunga. Ia bertanya kepada bunga itu: “ Apakah engkau melihat warnamu sendiri? “ Tak ada jawaban. Tapi ia tahu bunga paham. Lantaran suara angin di beranda... (Gua Braile, hal 73)
Matamerabooks, sebuah penerbit mandiri di kota Denpasar kembali menerbitkan kumpulan puisi penyair Frans Nadjira , Curriculum Vitae ( selanjutnya ditulis CV, pen) September, 2007. Setelah sebelumnya menerbitkan Springs Of Fire Springs of Tears (1998). Buku setebal 203 halaman ini terbit dwi bahasa (Indonesia dan Inggris) dalam edisi hard cover dan soft cover, berisi 55 karya puisi terbaru penyair dan pelukis Frans Nadjira, dilengkapi dengan catatan pengantar oleh D Zawawi Imron dan Arif Bagus Prasetyo.
Sebuah buku yang kehadirannya sangat pantas dirayakan, karena dapat memberi kita teladan dalam hal produktifitas dan totalitas seorang penyair. Mengingat di usia yang sudah semakin senja, Frans Nadjira masih sangat produktif menulis puisi.
Lahir di Makassar, 3 September 1942, melakoni dunia menyair dan melukis pada tahun 1960. Pada tahun ini juga Frans Nadjira merantau untuk memperkaya pengalaman. Ia pernah menjadi kuli kayu di pedalaman Kalimantan, buruh pasar dan sederet pengalaman perantauan yang tentu saja memperkaya batin dan proses berkeseniannya. Pada dasawarsa 70-an sempat bergiat di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tahun 1974 ia bermukim di Bali. Tiga tahun kemudian mendapat grant untuk mengikuti International Writing Programm dari IOWA university, Amerika Serikat.
Kiprahnya sebagai seorang motivator atikfitas sastra di Bali diakui oleh seluruh penyair dan intelektual Bali. Bersama – sama dengan rekan seangkatannya Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira tak letih – letihnya mendidik para ‘santri’ puisi. Seperti diakui oleh Sindhu Putra, seorang penyair terkeren di Bali “Om Frans adalah manusia puisi. Ia lah yang secara langsung mempengaruhi tekhnik serta memotivasi semangat para generasi penulis yang lebih muda seperti saya. Sikapnya yang tanpa basa – basi bahkan kerap membuat teman – teman yang kurang sabar merasa tersinggung. Ibarat sepasang mata, kalau Umbu adalah mata kanan, maka Om Frans adalah mata kiri...” tutur Sindhu Putra dalam sebuah kesempatan.
Darah Makassar memang melekat kuat dalam diri penyair Frans Nadjira. Itu pun berpengaruh pada gaya ungkap sajak – sajaknya. Bahkan di dalam beberapa puisi pada kumpulan CV yang ditulis di usia 63 tahun ini, masih terasa gaya ungkap Makassar yang lugas itu.
Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan puisi Frans Nadjira di buku ini sangat berbeda dengan kecenderungan pada dua buku kumpulan puisinya yang lalu. Yakni Springs Of Fire Springs Of Tears (1998) dan Jendela. Kecenderungan itu ditandai dengan nuansa solidaritas sosial yang muncul begitu kuat pada sebagian besar sajak di CV. Apalagi dalam catatan Arif Bagus Prasetyo, dicantumkan pula pernyataan – pernyataan Frans Nadjira tentang ‘kepenyairan dan kenyataan sosial’ yang menurut saya cukup mengejutkan.
Seperti misalnya pernyataan berikut ini “Kini kita tak butuh penyair kalau itu eksklusivisme. Yang kita butuhkan sekarang, orang menulis kenyataan yang dialami suatu bangsa....Atau pernyataan yang lebih pedas lagi “masih pantaskah kita bermain metafora?”(CV, hal 9)
Saya pastikan bahwa pernyataan semacam itu cukup kontroversial karena dilontarkan oleh seorang guru, sahabat, sekaligus motivator di dalam menulis puisi. Ia akan berpengaruh tidak hanya dalam penilaian para penyair kepada Frans Nadjira, tetapi juga dalam proses pencarian bahasa puisi para penyair itu sendiri. Sebab, bagaimanapun (terutama bagi teman – teman yang memulai proses kreatifnya di Bali), metafora adalah standar yang musti dicapai untuk melahirkan sebuah puisi yang utuh atau ‘jadi’. Nah, sekarang muncul gugatan ini: masih pantaskah kita bermain metafora?
Menurut Arif Bagus Prasetyo pernyataan itu disampaikan Frans Nadjira pada tahun 1997 dalam sebuah percakapan. Keperluannya untuk mengulang pernyataan itu kembali dalam esai pengantar CV yang terbit sepuluh tahun kemudian tentu berkaitan dengan usahanya memahami kepenyairan Frans Nadjira secara utuh. Di mana Arif akhirnya menyimpulkan bahwa Frans Nadjira bukanlah seorang penyair dengan tipikal puisi sunyi magis saja, tetapi sajak – sajaknya juga menunjukan kesan solider dan keberpihakan pada orang lemah. Terbitnya CV, tampaknya telah memberi Arif kesempatan untuk menyampaikan pandangannya itu.
Bila melihat situasi sosial politik di tahun 1997 yang sedang bergerak untuk melepaskan diri dari tirani orde baru, dapatlah kita mengerti mengapa penyair ini sampai mengeluarkan pernyataan tersebut. Tahun 1997 banyak terjadi peristiwa penculikan aktivis dan pembungkaman gerakan – gerakan yang menuntut perubahan oleh pemerintah. Tahun ini gerakan menentang penguasa orde baru mulai marak yang berujung pada turunnya Soeharto dari tampuk pemerintahan. Situasi seperti itu tentu telah menyentuh nurani penyair dan menginspirasinya untuk menulis puisi – puisi yang bercerita tentang kenyataan.
Salah seorangnya adalah penyair Frans Nadjira. Ia diam – diam menulis puisi sosial dan baru mempublikasikannya lama sepuluh tahun kemudian. Rupanya Frans Nadjira bukanlah seorang narsis politik yang suka menonjol – nonjolkan diri paling berperan dalam sebuah perubahan. Ia tak ingin puisi tampil sebagai kerja heroik yang pamrih hanya karena telah berbicara tentang kenyataan yang terjadi. Kumpulan puisinya yang terbit setahun setelah ia bercakap dengan Arif Bagus Prasetyo itu malah Springs Of Fire Springs Of Tears. Sebuah kumpulan puisi yang tidak berpretensi menyeret – nyeret tema sosial di dalamnya. Bagi saya sikap seperti itu adalah sikap yang tepat untuk menjaga kemurnian sebuah kerja kepenyairan.
Masih dalam catatannya di buku CV, Arif Bagus Prasetyo menyimpulkan bahwa pernyataan Frans Nadjira yang demonstratif mengenai hubungan penyair dengan kenyataan sosial tersebut, toh tidak mengurangi kesan “sunyi’’ yang biasa kita dapatkan dari sajak – sajak sebelum CV. Menurutnya Frans masih tetap berkhidmat di dalam pencarian kesunyiannya yang seakan – akan abadi. Dengan kata lain, keluar masuk dunia sosial – dunia sunyi sebenarnya adalah usaha Frans Nadjira untuk menemukan kepenuhan dirinya sebagai manusia kolektif sekaligus manusia penyair.
Mengutip Octavio Paz, Arif mengatakan hal itu karena puisi pada dasarnya adalah usaha untuk melakukan ziarah pada sejarah. Dalam konteks CV, ziarah tersebut tentu tidak hanya ziarah sosial tetapi juga ziarah kepada puisi – puisi itu sendiri.
Puisi ditulis untuk melakukan ziarah kepada puisi. Hal itu bermula dari adanya ketegangan relasional klasik antara puisi dan kenyataan hidup di sekitar penyair. Bahasa – lewat keindahan dan daya magisnya – kerap membuat jarak yang tak termaafkan antara puisi dan kenyataan. Sehingga penyair sering terisolasi atau terindividuasi oleh pencapaian bahasanya sendiri.
Itulah sebabnya, penyair - penyair besar selalu berupaya menggugah kembali bahasa puisi mereka. Melakukan ziarah atas sikap serta tindak bahasa yang telah mereka yakini sebelumnya, untuk mendapat arti yang lebih segar dari sebuah kerja puisi. Demikianlah misalnya, penyair Subagio Sastrowardoyo pun melakukan hal yang sama ketika ia menulis sajak berjudul “Sajak”.
“…Apakah arti sajak ini //Kalau anak semalam batuk-batuk, //bau vicks dan kayu putih
melekat di kelambu…// Apakah arti sajak ini?”
Relasi pernyataan Frans Nadjira sebagaimana kita kutip di bagian permulaan esai ini musti dilihat dari sisi untuk menggugah kemapanan cara pandang tentang bahasa tersebut. Sama sekali ini memang bukan sebuah siasat bahasa atau strategi penyair untuk membuat puisi yang hanya mengandalkan makna dapat diterima sederajad dengan puisi yang kaya metafor. Dan bukan pula usaha untuk menghancurkan metafora sebagai salah satu fondasi terpenting dalam sebuah bangunan puisi.
Arif Bagus Prasetyo saya kira cukup tepat telah menggunakan istilah ziarah saat membicarakan kumpulan CV ini. Sebab, kata ziarah menyimpulkan adanya suatu penghargaan kepada waktu secara keseluruhan. Baik waktu lampau dan dan waktu kini. Di dalam sebuah ziarah waktu hadir sebagai benang merah yang tidak putus. Demikianlah bila di dalam puisi – puisinya terdahulu Frans Nadjira lebih menonjolkan segi magis bahasa, magis tema dan ‘aku surealisnya’ maka pada CV hal itu telah teredam.
Sesungguhnyalah, CV menghadirkan kepada kita sikap rendah hati seorang penyair dalam menghadapi ego bahasa dan kenyataan yang tidak seimbang. Kalau boleh menggunakan pepatah, badik telah diikat sekarang... yang tertinggal adalah sebuah pengakuan di depan waktu“Unda...terimakasih telah mendidikku berendah hati. Cara berpikirmu yang polos dan sederhana// Memandang hidup sebagai sebuah lakon lengkap. Bahwa tak ada sesuatu yang terjadi//Tanpa kehendakNya// Mengantar aku ke suatu tempat// di mana kutemukan makna hidup// menepis jumawa dan mabuk ketokohan...” ( hal 3)
Inilah inti ziarah itu. Sebuah perjalanan merebut makna – dalam hal ini adalah makna puisi – dari seluruh waktu yang telah dialami penyair. Dan Unda telah menjadi piala dalam keseluruhan perjalanan itu.
Denpasar, 13 Oktober 2007
Esai ini pernah dimuat di Bali Post Minggu, november 2007
0 comments:
Post a Comment