Abu Bakar
Meski namanya "sangat Arab", Abu Bakar sungguh-sungguh merasa bahwa dirinya adalah orang Bali tulen dengan semangat Indonesia yang membara. Maklum, kelahiran Kediri, Tabanan, 1 Januari 1944, lahir dari rahim perempuan Bali. Ayahnya, yang meskipun keturunan Jawa, juga lahir dan besar di Bali, sebagaimana dirinya kemudian.
Pendidikan Abu Bakar hanya sampai Sekolah Menengah Atas. Itu bukan karena ia enggan bersekolah, tetapi karena ia lebih memilih untuk menuntut ilmu di “Universitas Alam Raya”. Dari situ ia mendapat banyak pelajaran di bidang sastra, teater, dan fotografi. Berbekal ilmu tersebut Abu kemudian meretas jalan hidupnya dengan bermain teater dan menjadi penulis 'kolom' di beberapa media lokal di Bali. Tulisan-tulisannya tersebut kemudian ia kumpulkan dan diterbitkan dalam buku “Tuhanku Kupu-kupu”, “Amerika di Luar Jendela” dan “Kunang-Kunang”. Ia jug amelahirkan karya monolog berjudul “Wanita Batu” (2006) dan TV Play berjudul, “Komedi Hitam”, “Bali Menangis (2004), dan beberapa lainnya.
Untuk mengentalkan semangat keindonesiaannya, ketika waktu memanggil dirinya untuk memasuki masa rumah tangga, pendiri “Teater Poliklinik” ini menyunting Rasmini, gadis cantik asal Toraja, Sulawesi Selatan. Pertalian cinta dua budaya itu melahirkan dua anak perempuan: Injil Abu Bakar dan Ossyris Abu Bakar. Namun tak satu pun dari keduanya mengikuti jejak Abu sebagai seniman sastra atau pun panggung. Injil dan Ossyris lebih memilih jadi “seniman medis” yakni menjadi dokter.
Sebagai seniman, Abu sempat mengunjungi beberapa Negara untuk urusan berkesenian antara lain, Perancis dan Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, Abu mementaskan hasil kolaborasinya dengan seniman Ikranegara berupa pertunjukan teater “Berani-Beraninya Menunggu Godot” (1990).
Di dalam negeri sendiri, Abu Bakar sempat berkeliling ke berbagai kota di Indonesia mementaskan berbagai naskah drama dan teater antara lain membawakan naskah “Mayora” (1980).
Kini, Kakek Abu, demikian beberapa seniman menjulukinya, getol membina pemain-pemain muda berbakat melalui beberapa nomor pertunjukkannya. Semisal dalam pementasan “Kereta Kencana” dan “Indonesia Luka” (keduanya pada 2012) dan “Malam Jahanam” (2013).
Read More..
Pendidikan Abu Bakar hanya sampai Sekolah Menengah Atas. Itu bukan karena ia enggan bersekolah, tetapi karena ia lebih memilih untuk menuntut ilmu di “Universitas Alam Raya”. Dari situ ia mendapat banyak pelajaran di bidang sastra, teater, dan fotografi. Berbekal ilmu tersebut Abu kemudian meretas jalan hidupnya dengan bermain teater dan menjadi penulis 'kolom' di beberapa media lokal di Bali. Tulisan-tulisannya tersebut kemudian ia kumpulkan dan diterbitkan dalam buku “Tuhanku Kupu-kupu”, “Amerika di Luar Jendela” dan “Kunang-Kunang”. Ia jug amelahirkan karya monolog berjudul “Wanita Batu” (2006) dan TV Play berjudul, “Komedi Hitam”, “Bali Menangis (2004), dan beberapa lainnya.
Untuk mengentalkan semangat keindonesiaannya, ketika waktu memanggil dirinya untuk memasuki masa rumah tangga, pendiri “Teater Poliklinik” ini menyunting Rasmini, gadis cantik asal Toraja, Sulawesi Selatan. Pertalian cinta dua budaya itu melahirkan dua anak perempuan: Injil Abu Bakar dan Ossyris Abu Bakar. Namun tak satu pun dari keduanya mengikuti jejak Abu sebagai seniman sastra atau pun panggung. Injil dan Ossyris lebih memilih jadi “seniman medis” yakni menjadi dokter.
Sebagai seniman, Abu sempat mengunjungi beberapa Negara untuk urusan berkesenian antara lain, Perancis dan Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, Abu mementaskan hasil kolaborasinya dengan seniman Ikranegara berupa pertunjukan teater “Berani-Beraninya Menunggu Godot” (1990).
Di dalam negeri sendiri, Abu Bakar sempat berkeliling ke berbagai kota di Indonesia mementaskan berbagai naskah drama dan teater antara lain membawakan naskah “Mayora” (1980).
Kini, Kakek Abu, demikian beberapa seniman menjulukinya, getol membina pemain-pemain muda berbakat melalui beberapa nomor pertunjukkannya. Semisal dalam pementasan “Kereta Kencana” dan “Indonesia Luka” (keduanya pada 2012) dan “Malam Jahanam” (2013).
Read More..